Kedua mata Maya perlahan terbuka. Keringat dingin membasahi tubuh. Napas terengah segera ia atasi. Bergeming di atas kasur, gadis itu menatap langit-langit kamarnya.
Mimpi itu lagi.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Maya.
"Nduk, kamu sudah bangun belum?"
"Sudah, Bu." Maya mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk sembari mengikat rambut panjangnya ke belakang.
Dahlia masuk sambil terbatuk-batuk kecil. Wajahnya pucat disertai bibir yang kering. Dengan sigap Maya langsung memapah tubuh lemah Dahlia untuk duduk pada tepi ranjang.
"Bu, sudah Maya bilang istirahat aja di kamar. Kenapa capek-capek ke kamar Maya?"
"Ibu sudah mendingan, kamu ndak perlu khawatir."
"Tapi kan-"
"Nduk," Dahlia menggenggam erat tangan Maya diikuti senyum hangat pada rupa, "terima kasih ya. Sudah mau mengabulkan permintaan egois Ibu. Umur Ibu mungkin ndak panjang, tapi Ibu bersyukur masih sempat melihat kamu menikah. Itu saja sudah lebih dari cukup."
Rambut ibu angkatnya yang digelung mulai memutih, banyak kerutan pada beberapa bagian wajah, dan juga kedua mata yang sayu. Penyakit asma cukup serius, yang memungkinkan terkena serangan jantung juga strok. Melihat keadaan Dahlia membuat hati Maya teriris pilu. Meskipun begitu, Dahlia tetap terlihat tegar dan murah senyum.
Maya pun mengangguk pelan sembari mengulum senyum kecil. "Maya masih bisa kok mengabulkan permintaan Ibu yang lainnya. Daaan Ibu pasti bakal umur panjang." Ia memeluk tubuh Dahlia dari samping dengan penuh kehangatan. "Setelah ini Ibu harus semakin sehat, oke? bapak sudah nggak ada, jadi kita bisa nabung lagi."
Sudah enam hari setelah Wahyu dinyatakan meninggal meski jasadnya belum ditemukan. Ia mengalami kecelakaan, motornya diduga tergelincir ke jurang saat hujan deras mengguyur ibu kota.
Tentu, kabar duka tersebut merupakan hal yang menggembirakan bagi Maya dan Dahlia. Mereka akhirnya dapat terbebas dari kekerasan yang dilakukan Wahyu selama empat bulan terakhir, disebabkan oleh ekonomi keluarga yang kian menurun. Pria paruh baya itu juga sering menghambur-hamburkan uang hanya untuk berjudi dan membeli minuman keras.
"Badanmu bagaimana, Nduk?" Dahlia menyeka keringat Maya dengan telapak tangan, penuh kelembutan.
Baru akhir-akhir ini Maya dapat tidur dengan pulas tanpa harus merasa gelisah. Tubuhnya bisa beristirahat maksimal.
"Sudah enakan Bu, nih lebamnya juga mulai pudar. Berkat salep dari ...."
"Jefran?" Dahlia menyunggingkan senyum ayu. "Ndak perlu sungkan begitu, ah. Kan nyebut calon suami sendiri."
Sampai detik ini pun Maya masih merasa ragu.
"Ibu belum jawab pertanyaan Maya. Kenapa Ibu nyuruh Maya untuk menikah sama Pak-em, Mas Jefran? Ini betulan Mas Jefran yang temannya Mbak Wiwik? Maya nggak lagi mimpi kan?-ADUDUH, SAKIT BU."
Cubitan keras pada pinggang anak gadisnya yang dilakukan Dahlia menjawab semua pertanyaan Maya.
"Mau lagi ndak?"
"Nggak! Nggak, Bu. Cukup banget. Matur nuwun (terima kasih)." Maya meringis seraya mengelus pinggangnya yang terasa panas. "Habisnya Ibu bilang, Maya harus menikah sama temannya Mbah Rahardja, kan Maya mikirnya calon Maya sudah tua. Masa Maya kawin sama kakek-kakek. Tapi, beneran Mas Jefran-"
"Iyaaa, sayang. Nama panjangnya Prasetyono Jefran Dewandaru."
"Itu siapa, Bu? Mas Jefran?"
Dahlia hanya bisa menghela napas sabar menghadapi sikap putri kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(My)sterious Husband
RomanceMaya resmi menjadi istri Jefran dan bertekad untuk membayar semua karma buruk dikehidupan sebelumnya. Namun, kejanggalan pesona penuh misteri di kehidupan sekarang dan sosok Jefran yang tertutup membuat Maya penasaran untuk menguak perlahan identit...