"Laki-laki itu datang lagi?" tanya Jefran seraya meraih gelas teh tawar hangat miliknya.
Malam itu pembeli datang silih berganti. Maya dan Jefran mampir di tempat makan pinggir jalan—pecel lele—yang sempat viral baru-baru ini karena terkenal murah serta super enak. Namun poin terpenting adalah demi mengisi perut keroncongan Maya. Beruntung mereka kebagian tempat duduk sebab sangat ramai.
"Iya. Dia juga ngobrol sama Mbak Wiwik, kayaknya mereka saling kenal," jelas Maya seraya menyuap makanannya.
Jefran meletakkan gelas. Tak ada ekspresi yang berarti, sebab kini ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.
"Laki-laki itu juga tau nomorku, tapi udah aku block. Dikasih tau Mbak Wiwik kali ya?"
Maya pun menoleh. "Mas, jujur aku hari ini dapat kayak ... gambaran atau semacam ingatan gitu. Dulu pas di panti, aku punya temen namanya Haris. Dia sering manggil MayMay, persis kayak kiriman chat laki-laki itu."
Seraya menyimak, Jefran mulai mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada meja. Dengan lambat.
"Haris itu temanmu?" Jefran mencoba melempar umpan.
Bibir Maya terkatup rapat, masih mencoba agihkan senyum. Berjeda cukup lama. "Sebenernya hubungan kami nggak jelas. Pas itu masih SD atau SMP ya? Lupa. Bisa dibilang saling suka? Tapi itu dulu! Dulu ya, Mas. Masih cinta monyet. Aku juga udah paham kalau dulu perasaanku ke dia cuma sebatas kagum. Nggak lebih."
Maya pun menyilangkan kedua tangannya seraya berpikir untuk melakukan sesuatu. Sepertinya, ia harus bergerak. Menghindar pun tidak akan ada ujungnya.
"Ndak perlu mikir untuk melakukan yang aneh-aneh."
"Hm?" Maya mengerjap. Apakah isi kepalanya se-transparan itu di mata Jefran? "Oh iya, aku mau tanya."
Jefran hanya membalas dengan sebuah tatapan.
"Mas malu nggak punya istri kayak aku?"
"Malu dalam konteks apa?"
"Pekerjaan," tutur Maya dengan tegas. "Latar belakang keluargaku juga nggak jelas."
Dalam riuhnya suasana disekitar mereka, tak menggentarkan keduanya untuk segera melepas pandang. Maya maupun Jefran, saling mempertanyakan diri pada benak.
Pantaskah mereka bersanding? Disertai alasan masing-masing.
Keluarga. Jefran berani bertaruh keluarganya bahkan akrab dengan kata terlarang. Hal itu jauh lebih buruk ketimbang label ketidakjelasan yang diemban Maya.
"Kamu malu ndak punya suami seperti saya?"
...? Yang bener aja, ya nggak lah! Ganteng, mapan, tinggi—GUE MERASA BERSYUKUR DAN SANGAT BANGGA, TOLONG.
"Jangan samain aku sama kamu. Itu terlalu ...."
"Cuma jualan barang lawas. Toko sederhana. Pekerjaan saya selalu diremehkan karena bagi kebanyakan orang bisnis ini ndak terlalu menjanjikan." Ketukan jemari Jefran berhenti.
Maya memang bukan penikmat barang antik, tetapi cukup tau dari informasi Yono bahwa Jefran meneruskan bisnisnya dari almarhum sang kakek—Mbah Rahardja. Meski pekerjaan itu terdengar remeh, tentu status Jefran berbeda dengan penjual barang antik yang baru saja menjajakan kaki.
Puluhan tahun Roemah Koeno berdiri, tak perlu berusaha lebih untuk sekadar mendapat klien. Bahkan orang-orang dari dalam maupun luar yang akan datang sendiri mencari keberadaan toko itu. Kualitas barang-barangnya selalu terjaga dan terjamin, tidak pernah mengecewakan.
"Kita sama dan saya bangga punya istri pekerja keras seperti kamu."
Curang. Jefran curang.
Pipi Maya memanas. Hatinya tersentuh. Tidak menyangka tanggapan Jefran akan sehangat itu. Sungguh, ia sangat bersyukur. Pula, keputusannya sudah sangat tepat untuk berjanji selalu memilih Jefran pada setiap kehidupan.
KAMU SEDANG MEMBACA
(My)sterious Husband
Roman d'amourMaya resmi menjadi istri Jefran dan bertekad untuk membayar semua karma buruk dikehidupan sebelumnya. Namun, kejanggalan pesona penuh misteri di kehidupan sekarang dan sosok Jefran yang tertutup membuat Maya penasaran untuk menguak perlahan identit...