29: Butir yang Hilang

148 16 0
                                    

Kilau pancaran mata Maya penuh harap dilayangkan pada Dahlia. Semangkuk bubur kacang hijau menunggu giliran untuk mendapat penilaian.

"Gimana, Bu? Santennya kerasa nggak?" Maya yang duduk di tepi ranjang menggeser tubuhnya mendekat sambil menerima mengkuk dari Dahlia.

"Sudah lumayan, Nduk, tapi santannya kurang sedikit lagi."

Bubur kacang hijau buatannya kurang santan. Tumis udang buncis kelupaan gula. Terakhir yang miris, telur dadar bawang wortel—kebanyakan garam—hampir melayangkan nyawa Dahlia akibat tersedak.

Siap. Telah Maya catat di otak untuk nanti dikoreksi.

"Maya kok jadi lupa cara masak ya, Bu." Maya tertunduk lesu. "Semenjak di Jogja pikiran Maya agak kacau."

"Bukan agak lagi, Nduk. Sudah sedikit mengkhawatirkan." Dahlia melirik beberapa masakan buatan sang anak yang berjejer rapi di atas nakas.

Suara ketukan terdengar. Seorang wanita berusia empat puluh tahun menyembul dari balik pintu kamar disertai senyuman lebar.

"Dokter Wati," sapa Dahlia.

"Bu Dahlia, saya pamit pulang dulu ya. Jaga kesehatan." Wati membenarkan letak kacamata, tampangnya berubah serius tertuju pada Maya. "Maya, Ibumu jangan dikasih makanan yang aneh-aneh, lho. Apa lagi tumis udang sama telur dadar yang di dapur itu bisa bikin orang yang makan darah tinggi!"

Bejir, separah itu ya?

Maya dengan hati-hati berdiri perlahan menutupi meja nakas. Senyum terpaksa mengembang.

"Nggih (iya), Tante."

"Kacang hijau sama perkedelnya, aman. Perkedelnya sih paling jos." Wati menambahkan. Kedua ibu jari terangkat sebatas dada. "Ya sudah, aku pamit ya!"

Selepas kepergian Wati, tubuh Maya langsung berbalik untuk membereskan piring.

"Ibu istirahat yang cukup ya. Nanti aku minta tolong Mas Jefran aja buat jadi tester. Maaf Maya malah—"

"Ndak apa-apa. Pelan-pelan saja, Nduk. Jangan dipaksakan. Kenapa tiba-tiba ingin masak?"

"Lihat Bi Surti bikin perkedel, Maya jadi ngide buat bantu masak."

Serius, Maya memang pintar memasak. Betulan, bukan halu. Malah, sudah level jago mengalahkan chef kelas atas—berdasarkan ulasan pribadi—tapi sungguh, belum pernah masakannya direndahkan sampai seperti ini. Apakah kepingan ingatan yang muncul berpengaruh terhadap menurunnya kemampuan dasar?

Ketukan kembali menginterupsi. Pintu terbuka setengah, kini muncul Bi Surti.

"Bu, Pak Arif sudah datang, sama Bu Dian juga baru saja sampai."

"Oh, nggih (iya). Suwun (terima kasih), Bu."

"Pak Arif siapa, Bu?"

Kedua kaki Dahlia dengan perlahan turun dari ranjang dibantu oleh Maya kala Bi Surti menutup pintu.

Mendadak Dahlia harus mendongeng singkat tentang sosok Arif yang sebelumnya pernah ditolong oleh Jefran. Mulai dari bagaimana mereka bertemu hingga menjadi cukup akrab hingga sekarang. Cerita ini belum terlalu lama terjadi.

"Hari ini kedatangan Pak Arif untuk dikenalkan dengan Bu Dian. Untuk sementara Bu Dian tinggal di dekat rumah Pak Arif. Mereka bisa saling mengawasi dan bekerja sama."

"Itu saran dari Mas Jefran, Bu?"

"Iya. Di daerah selatan desa. Di sana warganya aktif sampai malam hari, ikatan persaudaraannya kuat. Jadi sangat aman."

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang