20: Duri-Duri

167 23 0
                                    

TW//Blood, etc.

Mobil lawas Jefran melaju cukup kencang. Suasana siang hari sedang lengang tak banyak kendaraan berlalu-lalang.

"Lewat jalur utara."

Sesuai perintah, Yono memutar kemudi ke kanan. "Bukannya itu gang kecil, Aniki? Dan itu arah ke ... tempat eksekusi, 'kan?"

Sosok jangkung yang duduk pada kursi penumpang tepat di sebelah Yono itu tak memberi respon, memilih mengeluarkan sebuah surat.

"A-Aniki, bukannya sudah berjanji tidak akan lagi—"

Hampir saja Yono kehilangan fokus sehingga mobil sempat oleng ke kiri. Kekhawatirannya muncul kala mendapati surat itu kembali pada genggaman Sang Tuan.

"Fokus, Yon," tukas Jefran tanpa menoleh. Dua manik teduhnya membaca isi surat. Hanya berisi garis-garis dan beberapa titik.

"Bisa saja itu jebakan!"

"Yanuar. Istri dan anaknya meninggal tiga hari yang lalu dan masuk ke dalam list spider lily."

Yono mengeratkan genggamannya terhadap kemudi.

"Dia sudah terpancing keluar." Jefran membuka kaca mobil lalu membuang surat itu setelah diremas hingga berbentuk bola kecil. "Saya harus menyelesaikan hal ini dulu."

"Tapi sampai kapan, Aniki?" Suara Yono meninggi. "Kita bisa langsung melaporkan dia ke—"

"Maksudmu, saya juga harus menyerahkan diri?" Jefran terkekeh pelan. "Yon, jangan sampai polisi ikut campur terlalu dalam. Kamu hanya menyusahkan keluarga Wiwik yang sudah membantu menutupi."

Kalimat itu membungkam ucapan Yono. Alhasil hanya bisa mengeraskan rahang—menahan segala emosi yang siap tertuang.

"Saya yang memulai ini, jadi harus saya juga yang akhiri semua. Orang itu hanya perlu berhenti melakukan perbuatannya."

Mereka pun sampai di depan gang kecil. Lokasi desa sangat sepi layaknya tempat jin buang anak. Sekitar sana gersang. Sinar matahari menyengat kulit. Pada beberapa titik tumbuh ilalang tinggi.

"Kamu tahu kan Yon, andai orang itu bukan kesayangannya Rahardja," Jefran melepas sabuk pengaman, "seharusnya sejak lama sudah tinggal nama."

Dengan kata lain, Jefran bisa saja dengan mudah memburu Si Dia.

"Biar saya saja! Aniki bisa ... menemani Nee-san di rumah, minum teh, istirahat. Hidup normal seperti orang lain! Jangan mengotori tangan Aniki lagi. Di rumah ... sudah ada Nee-san yang—"

"Kembali lagi jam empat," potong Jefran terdengar tegas.

Jefran pikir, tidak akan ada lagi kehidupan normal semenjak kematian Sang Ibu dan Rahardja. Bahkan demi nama semua keluarga serta rekannya sejak dahulu kala. Waktu miliknya terhenti di sana. Darah seakan telah menjadikannya hidup.

"Aniki!" Yono menahan pundak Jefran. "Bu-bunganya! Kita bukannya kehabisan bunga?"

"Masih ada satu." Jefran membalas tatapan Yono. Sorot matanya tajam dihiasi seulas senyum tipis. "Spesial dari istri saya."

Rupa bingung Yono terpampang jelas. Ia mengerjap sembari berpikir keras. Selepas kepergian Jefran, ia hanya bisa diam termenung. Kemudi pun menjadi pelampiasan.

"Ngga mungkin 'kan ...?"

Maya kemungkinan telah mengetahui identitas Sang Tuan.

"Argh! Kalau sudah begini, berarti satu-satunya orang yang bisa menolong Aniki memang hanya Nee-san."

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang