17: Aroma

190 27 0
                                    

Maya menekan tombol blokir pada nomor tak dikenal yang terus menerus menghubunginya. Akhir-akhir ini ia sering mendapatkan telepon dari nomor acak seperti itu—layaknya ditagih pinjaman online.

"Kenapa May?"

"Nggak. Ini ada nomor iseng nelponin mulu."

Ayu mengangguk pelan sambil mengunci pintu kamar. "Jadi kamu nemuin bunga itu di lantai dua ... yang—"

"Iya, Yu. Yang gue nggak boleh ke sana."

Maya merebahkan tubuhnya pada kasur empuk king size milik Ayu. Mereka sedang asyik bercengkerama hingga melupakan hari telah berubah warna menjadi jingga keemasan.

Sudah lama Maya tidak berkunjung ke rumah Ayu yang kental dengan sentuhan klasik modern. Pilar-pilar besar nan gagah berdiri kokoh pada setiap titik bangunan dua lantai yang dibutuhkan sebagai cagak. Air mancur dan tanaman hijau memberi kesan hidup serta menyejukkan. Halamannya pun sangat luas, baru-baru ini sebagian dibangun untuk pacuan kuda dan memanah.

Meski dipastikan nyaman tuk dihuni, bagi Maya rumah sebesar itu terlalu luas untuk dijadikan tempat tinggal. Jarak antar ruangan cukup jauh, meninggalkan jejak senyap tak mengenakkan hati sebab mengingatkan dirinya dengan kastil tua dahulu kala yang mengurungnya bak penjara.

"Cuma bunga artifisial sih. Kalau dari kasus artikel yang gue baca, nggak disebutin bunganya selama ini asli atau tiruan." Maya mengangkat sekuntum bunga higanbana tingg-tinggi. Warna merahnya hampir pudar. "Di ruangan itu isinya kosong, gue nemu bunga ini di bawah meja kecil deket sofa tua. Padahal cuma ruangan biasa, tapi kenapa gue nggak boleh ke sana?"

"Aku nggak mau ambil kesimpulan gegabah, tapi mungkin ada kaitannya sama bunga itu." Ayu menimpali.

"Dan apa pun yang berkaitan sama bunga ini udah pasti nggak bagus." Maya menghela napas, kemudian menghempaskan tangannya yang mengudara pada kasur.

"Kamu kok bisa masuk ke lantai dua sih May? Emangnya nggak dikunci?" tanya Ayu kemudian menyeruput es jeruk. Ia duduk di kursi rias tepat di sebelah ranjang.

"Waktu itu Jefran ke Wonogiri. Pas ada kesempatan, jadi langsung cek ke atas. Terus pas gue dorong pintunya ternyata ke buka ... ya udah gue masuk sekalian."

"Semoga nggak ada CCTV ya May ...."

Maya mengerjap pelan, lalu berdeham. Otak kecilnya melupakan hal satu itu. "Kayaknya sih ... aman Yu." Toh sampai saat ini dirinya masih berinteraksi normal dengan Jefran dan belum mendapat hukuman dari perjanjian mereka.

"Kamu tetep harus hati-hati," Ayu meletakkan gelas, "jujur, aku masih bingung sama sifat Kak Jefran. Dia itu ... misterius? Kalau dibilang baik, ya memang sopan dan baik banget. Tapi ada sisi lain yang janggal. Apa ya, susah jelasinnya."

"Ada satu kata yang gue inget-inget sampai sekarang. Korosu. Lo tau nggak artinya apa?"

Ayu menggeleng. "Kayak bahasa jepang ya? Aku taunya kacang koro."

"Lebih dari sekedar kacang koro, Yu. Artinya ... membunuh."

"Oke ... siapa yang bilang gitu—" Kedua pupil Ayu membesar. "Jangan bilang, Kak Jefran?"

"Gue sering denger si Tata sama gengnya di resto sering ngucapin kata itu, tapi sambil bercanda gitu." Maya mengubah posisinya menjadi duduk.

"Oh ... kirain Kak Jefran. Udah deg-degan aja aku."

Maya tersenyum tipis. Jefran juga pernah bilang itu.

"Bentar deh, kenapa kita jadi bahas itu?"

"Nggak tau Yu, gue pusing! Jefran terlalu mencurigakan buat gue abaikan gitu aja." Jemari Maya memilin bunga pada genggaman. "Sebenernya udah banyak kejanggalan yang gue sadari, tapi selalu ketutup lagi sama sikap lembut dia. Terus kejadian Mbak Wiwik kemarin, sisi janggal yang dimaksud akhirnya keliatan."

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang