8: Higanbana

155 21 0
                                    

Suara napas halus. Mata terpejam nyaman. Helaian rambut tak beraturan. Pemandangan super langka yang Maya dapatkan pagi ini dari seorang Jefran. Satu menit ia memandangi rupa suaminya, tidak lupa berkedip meski baru ingat mengambil napas.

Maya tidur menyamping, begitu pula Jefran. Mereka saling berhadapan.

"Jam berapa?" suara bariton Jefran berhasil menggelitik perut Maya.

"Tumben belum berangkat?" Maya mengerjap kemudian menyimpulkan sesuatu. "Oh, aku tau! Ya ampun, Tuhan emang baik banget ngasih aku mimpi indah kayak gini."

Jefran mengernyit.

"Mas, aku mau nge-charge boleh ya?" Maya mendekatkan wajah penuh antusias dengan senyum lebar mengembang, bagai surya yang berpindah dari langit kini tepat berada di hadapan Jefran.

Meski bingung, Jefran berujar pelan, "boleh?"

Pelukan erat kemudian dilaku Maya setelah mendapat lampu hijau. Sejujurnya ia sangat menyukai dada bidang beserta parfum Jefran. Guling terlalu dingin untuk dipeluk. Biasanya ada Dahlia yang menjadi sasaran Maya untuk 'mengisi daya'.

Respon Jefran tidak secepat biasanya. Ia sedikit mengangkat lengan sebab dadakan mendapat serangan tak terduga dari Maya.

"Ibu jauh banget di Jogja, nggak ada lagi yang bisa dipeluk." Walaupun hanya mimpi, kehangatan tubuh Jefran terasa sangat nyata. Tumbuh rasa gembira di dada.

Pertahanan Jefran runtuh sekitar sembilan persen. Lengannya membalas pelukan Maya. Aroma rambut istrinya begitu menenangkan hati. Wangi floral.

"Sudah rindu ibu?"

"Setiap hari aku selalu kangen ibu. Dulu, apa lagi sekarang."

"Bi Surti ngasih kabar, ibu di sana makannya sudah teratur. Ibu juga titip pesan untuk kamu, disuruh jaga kesehatan."

Maya sontak menengadah. Bibirnya melengkung ke bawah dengan ekspresi menahan tangis. Ekspresi Maya sekarang sangat jenaka—lucu—sayangnya sang suami tidak dapat menangkap gambaran itu.

"Hasil rontgen-mu bagus. Di dapur ada banyak vitamin sama buah-buahan, jangan lupa dimakan setiap hari. Kalau bisa kurangi makan mie instan pagi-pagi."

Cengiran membingkai wajah Maya. Ketahuan. Ia yakin, semua berkat Bi Iyah. "Ada lagi ngga?"

"Apanya?"

"Aku suka pas kamu cerewet gini." Maya menghela napas. "Sayangnya cuma mimpi. Kanebo kering kayak kamu, harusnya banyakin lagi ngobrol begini!" Lengannya beralih mengalung pada leher Jefran.

"Mumpung kita ketemu ... kamu diem ya. Abis ini aku janji bakal langsung bangun."

Belum sempat mendapat persetujuan, Maya mengecup ujung bibir bawah Jefran dengan sangat cepat. Mulanya Maya menatap polos tanpa agihkan ekspresi, tetapi beberapa detik kemudian langsung berguling ke kiri dan ke kanan sambil menghentak-hentakkan kaki kegirangan.

Jefran? Hanya bergeming setengah berpikir, sepertinya ada yang salah dengan otak istrinya.

Maya kembali dalam pelukan Jefran. Senang bukan main, di alam bawah sadar ia dapat melakukan apa pun. Bahkan sekarang kuasanya mengelus pelan kepala suaminya sambil berkata, "aku udah puas. Dadah Mas, sebenernya nggak mau bangun sekarang tapi aku harus kerja."

Namun ketika Maya berbalik, tubuhnya ditahan oleh kedua lengan Jefran yang memeluk dari belakang. Gadis itu berkedip cepat. Merasa ada yang aneh, ia terus mencoba terlepas dari pelukan, tetapi usahanya sia-sia sebab kuasa Jefran kembali menarik pinggang rampingnya.

"Mas," cicit Maya.

"Hm?" Jefran dengan lembut menyingkirkan helaian rambut panjang Maya hingga lehernya terlihat.

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang