4: Malam

301 37 0
                                    

Lemas. Harapan Maya untuk selamat telah padam sebab Jefran menahan jemarinya yang hendak memutuskan panggilan.

Ayu ... lo sengaja ya menggali kuburan buat gue ...?

Kuasa Maya yang menggenggam gawai terangkat cukup tinggi akibat paksaan lembut Jefran. Seulas senyum simpul terukir pada rupa si pria, yang Maya yakini tarikan bibir palsu itu bukan suatu hal bagus bagi nasibnya.

"Kami ndak sempat foto karena setelah acara langsung mengantar ibu Maya ke terminal bus. Beliau harus segera sampai di Jogja sebelum terlalu malam. Sudah ditunggu dokter."

[Tante Dahlia kondisinya memburuk Kak? May! Kamu kok nggak ngabarin aku?]

Bibir Maya terkatup rapat. Situasinya serba salah untuk sekadar membalas pertanyaan Ayu atau pun menimpali ucapan Jefran.

"Dan Maya sendiri yang memilih pisah kamar dengan saya."

Ayu baru ingin menimpali, tetapi Maya langsung mematikan panggilan begitu saja. Deretan giginya menyambut tatapan Jefran. Senyum kaku yang terlihat jelas menyatakan kekalahan telak Maya.

"Kemungkinan jam tujuh nanti ada pemadaman listrik," ketus Jefran kemudian berlalu keluar kamar.

Kedua kaki Maya seketika berubah menjadi agar-agar. Tubuhnya merosot indah beserta tampang malu yang membingkai wajah. Beberapa detik bergeming, hingga baru menyadari kalimat terakhir Jefran.

"Mati lampu?" Jam dinding menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. Segera Maya berdiri lalu berlari keluar kamar mencari keberadaan Jefran.

Pada perbatasan antara dapur dan ruang tengah, terdapat meja lesehan persegi panjang berukuran sedang dan beberapa bantalan tempat duduk yang mengelilingi. Di atas meja terdapat peralatan lengkap untuk upacara minum teh yang biasanya ada dalam tradisi jepang. Mulai dari chabako, chasaku, chasen, chawan, chaki, dan chanoyugama.

(chabako: kotak penyimpan perkakas; chasaku: tea scoop; chasen: bamboo whisk; chawan: gelas minum teh; chaki: wadah dari keramik untuk menyimpan bubuk matcha; chanoyugama: teko tradisional)

Jendela bulat besar yang sengaja dibuka menampilkan pemandangan malam berupa suara gesekan dedaunan, hujan rintik-rintik—sedikit berangin. Dapat Maya perhatikan postur tubuh Jefran tegak penuh wibawa. Ia tengah duduk bersimpuh atau orang jepang menyebutnya dengan seiza. Kuasanya sibuk menuangkan teko kuno berisi air panas ke dalam chawan—gelas minum teh berwarna biru laut perpaduan putih nan elegan.

Tanpa sadar tungkai Maya berjalan mendekat. Ia berdiri di samping Jefran berjarak satu meter sambil memainkan jemari tangannya dengan cemas. Saat itu juga listrik benar-benar padam, membuat Maya hampir melompat kaget.

Cahaya dari luar membantu sedikit kemudian Jefran menyalakan lilin. Namun, tidak lantas membuat Maya tenang. Ia takut kegelapan. Leher terasa seperti tercekat, sukar bernapas normal.

"Duduk."

Titah Jefran langsung Maya sanggupi sepenuh hati. Buru-buru ia duduk manis tepat disebelah kiri Jefran, dekat jendela. Menaruh gawai pada meja. Tubuhnya menempel pada Jefran tanpa sisakan jarak. Semilir angin yang masuk berhasil mengurangi rasa khawatir. Namun sejatinya, presensi Jefran-lah yang berpengaruh sangat besar menenangkan hati.

"Di depan saya masih kosong," celetuk Jefran seraya mengaduk teh.

"Mau di deket jendela," tanggap Maya secepat kilat.

Padahal jendela di samping kiri Maya, tetapi ia malah semakin merapatkan diri ke arah yang berlawanan alias pada tubuh Jefran.

"Ma-mau ke mana?" Maya menahan lengan Jefran dengan kuat sebab pria itu hendak berdiri. "Bukan ke kamar mandi kan?"

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang