3: Rumah

302 37 2
                                    

Mobil berhasil terparkir rapi di halaman depan rumah Jefran. Masih bergeming di tempat duduk, Maya terpana melihat keindahan senja di luar sana. Tanaman serba hijau dan sebuah kolam ikan koi menambah kesan menyejukkan, pekarangan yang mampu membuat orang betah untuk singgah. Sangat luas sekali serta memanjakan mata. Belum lagi rumah dengan gaya khas Jepang yang kental bercampur ukiran tradisional jawa, memenuhi sisi unik tersendiri.

"Ayo turun."

Suara rendah Jefran memecahkan lamunan Maya. Perasaan déjà vu membuatnya sejenak mematung untuk memulihkan kesadaran. Rumah yang besar, tetapi hanya dihuni oleh beberapa orang. Apakah akan sedingin istana kerajaan utara? Namun, Jefran memang tidak menjanjikan apa pun.

"Selamat datang, Mas Jef. Saya Mang Asep," sapa Asep sopan kemudian menerima kunci mobil dari Jefran.

"Tolong barang-barangnya di masukkan ya, Mang. Terima kasih." Jefran kemudian beralih mengecek keberadaan Maya yang masih duduk di dalam mobil, terlihat sibuk sendiri.

"Mampus, ini gimana," celetuk Maya setengah panik. Ia berkutat pada sabuk pengaman sebab sulit dibuka. Hingga uluran tangan Jefran beserta setengah badannya memenuhi pandangan Maya sepenuhnya. Terutama dada bidang yang menguarkan aroma parfum floral. Sepertinya mulai sekarang akan menjadi wangi favorit Maya. Kemudian ia memundurkan kepala, mencoba alihkan fokus.

Namun, situasi tidak lantas membaik. Jefran hanya sedikit bergerak mundur, hingga wajah mereka saling bertemu. Hanya berjarak beberapa senti, Jefran menatap Maya tanpa ucap sepatah kata.

Beruntung, Maya masih ingat cara untuk bernapas. Sungguh bodoh di kehidupan sebelumnya tidak menyadari betapa sempurnanya sosok seorang Jefran.

Banyak nikmat yang udah lo lewatkan, Sasmayaaa. Rahang tegas, hidung mancung, alis tebal, bibir—

"Perutmu masih perih?"

Maya mengangguk lambat, setengah tersenyum kecil. Masih mengagumi rupa tampan Jefran dari dekat.

Bibir yang—

"Perlu saya gendong?"

"Mhm, bibir." Maya nyaris mengangguk, kemudian ia menggeleng kencang seraya mengerjap cepat. "Eh, nggak nggak! Gimana?" Dari depan muncul Asep yang kembali tiba untuk mengambil barang-barang tersisa. "Mang Asep! Biar saya aja yang bawa!"

Tubuh Jefran didorong oleh Maya. Menutupi sikap salah tingkah, gadis itu memilih untuk kabur masuk ke dalam rumah setelah mengambil beberapa barangnya.

YA TUHAAAN MULUT GUE KENAPA SIH?

Bak pemandu wisata, Jefran dengan sabar memperkenalkan satu per satu ruangan kepada Maya. Ruang tamu, ruang tengah, halaman belakang yang penuh dengan bunga mawar dan sebuah kolam ikan besar, aula kecil serba guna, dapur, ruang baca atau perpustakaan sederhana, kemudian spot melihat pemandangan yang berbatasan langsung dengan halaman belakang. Sebelah barat halaman belakang terdapat dua rumah kayu jati bergaya panggung tempat tinggal Asep dan Iyah.

Rumah utama bertingkat dua, bila dilihat dari luar memang terkesan sederhana dan elegan. Isi dalam rumah pun jauh lebih megah dan mewah. Hampir keseluruhan material serba kayu dengan kualitas terbaik. Maya yakin, barang antik yang menghiasi setiap sudut ruangan di sana pun berharga sangat mahal.

Tidak ada foto keluarga yang terpajang. Hanya lukisan pemandangan, tumbuhan, bunga, dan sejenisnya.

Masih di lantai satu, Jefran membuka pintu kamar. Memperlihatkan dinding berwarna serba hitam perpaduan dengan kayu juga lukisan-lukisan yang terpajang pada dinding. Kira-kira luasnya sebesar satu rumah kontrakan yang ditinggali Maya dan Dahlia—atau mungkin lebih.

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang