Sebelas panggilan tidak terjawab dari Jefran. Maya hanya bisa meringis saat melihat ke layar gawainya.
"Aku silent ...," cicit Maya.
Ibu jari dan telunjuk Jefran memijit pangkal hidung, cukup jelas seberapa frustasi dirinya menghadapi seorang Sasmaya Anindyawati yang lebih sering bertindak dahulu sebelum berpikir panjang.
Minimal memperhatikan sekelilingnya.
"Percuma saya tinggalkan notes di meja," ujar Jefran pelan.
"Maaf ...," timpal Maya sambil menyeret bokongnya agar mendekat ke Jefran. "Lagian jaman sekarang masih pakai notes kayak gitu, ya aku nggak ngeh lah. Kenapa nggak lewat chat aja?"
"Saya yang salah?" Jefran menatap Maya diikuti menukiknya kedua alis.
"Ck, galak."
"Sasmaya."
"Apa?"
"Sudah ... sudah." Dian yang masih ada di sana pun melerai keduanya disertai gelengan pelan.
Mereka singgah di sebuah kedai minuman herbal langganan Dian. Ketiganya duduk melingkar.
"Coba kalau hari ini aku nggak jadi ketemu Angger, Bu Dian udah jadi sandera. Lebih gawat lagi 'kan?" bela Maya.
"Sudah saya pertimbangkan," timpal Jefran. "Lain kali jangan seperti itu lagi."
"Namanya juga panik," dengus Maya.
"Ayooo, sudah, ah." Dian menoleh ke Maya. "Nak Maya, wajar lho suami khawatir kalau istrinya dalam keadaan bahaya." Kemudian menoleh ke Jefran. "Wajar juga istri cemas kalau pagi-pagi suaminya hilang tanpa ngasih kabar yang jelas."
Maya maupun Jefran hanya bergeming saling melempar pandang.
"Jadi, Ibu sudah boleh cerita 'kan?" tanya Dian diikuti senyum hangat. "Kalung ini bukan dikasih Angger ... seingat Ibu, sebelum ke rumah kalian, Ibu kan sempat balik dulu ke rumah, tuh. Nah, waktu itu sempat ada tamu juga yang datang."
"Yakin bukan Angger, Bu?" tanya Maya memastikan.
Dian menggeleng yakin. "Perempuan, rambutnya pun ikal panjang tapi bukan Angger. Mungkin suruhannya? Tapi ... Ibu tidak terlalu ingat, sih. Waktu itu pas sudah sadar, tiba-tiba sudah pakai kalung ini dan sulit dilepas."
"Lebih baik jangan, Bu." Jefran meletakkan cangkir wedhang jahe setelah mencicip beberapa tegukan. "Kalau pun bisa dilepas, hanya Angger yang bisa membatalkan efeknya secara keseluruhan."
"Tapi itu nggak apa-apa kalau dipakai terus, Mas?" Maya sedikit was-was bila hal buruk menimpa Dian.
"Ndak apa-apa." Jefran merogoh sesuatu dari dalam saku jaket lalu menaruh satu botol air tiga puluh mili di atas meja. "Sebelum tidur dan setelah mandi oles leher Ibu pakai air ini untuk mengurangi efek negatifnya."
Dian mengangguk paham seraya menerima botol itu. "Terima kasih, Nak Jefran. Maaf ya, Ibu jadi merepotkan begini."
Jefran menggeleng sopan. "Seharusnya saya yang nyuwun pangapunten ke Ibu, karena masalah kami, Ibu jadi terseret juga. Tapi saya bisa pastikan jaminan keselamatan Ibu sekeluarga."
"Seperti yang kamu bilang dulu, Nak. Ini sudah konsekuensi saya. Iya, to? Ngga apa-apa." Dian menarik senyum ikhlas.
"Setelah ini Ibu istirahat di rumah ya. Jangan lupa ceritakan kondisi Ibu ke Adi biar nanti kalau ada apa-apa bisa langsung ngabarin Maya atau yang lain," jelas Maya.
"Baik, Nak Maya."
"Kalau gitu—" Belum selesai Jefran menyelesaikan perkataan kala hendak berdiri, tubuhnya tiba-tiba limbung ke samping. Kepalanya terasa berputar, pening. Untung saja Maya di sebelah langsung sigap menahan tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
(My)sterious Husband
RomanceMaya resmi menjadi istri Jefran dan bertekad untuk membayar semua karma buruk dikehidupan sebelumnya. Namun, kejanggalan pesona penuh misteri di kehidupan sekarang dan sosok Jefran yang tertutup membuat Maya penasaran untuk menguak perlahan identit...