12: Wadah

216 29 0
                                    

"Maya! Sasmaya!" Sambil bersolek, Wiwik datang ke dapur restoran dengan terburu-buru.

Baru juga gue istirahatin ini pantat!

Maya terpaksa kembali berdiri seraya memijat lengan atas yang pegal, beserta kepala yang terasa pusing. "Iya Mbak?"

"Itu loh lantai dekat Rafli masih kotor, masa kamu nggak lihat sih? Sama galon tuh masih dua lagi di depan, kenapa belum di masukin?"

"Mbak Wiwik, biar saya aja yang bersihin sama angkat galon." Rafli menginterupsi sembari menggoreng telur. Di sana juga ada dua pekerja lain yang sibuk mengurus pekerjaan dapur.

"Iya Mbak, dari tadi Maya kasihan udah—"

"Kalian fokus masak aja. Kebersihan dapur harus terjaga, kalau kalian yang pegang nanti masakannya jadi nggak higienis." Perkataan pekerja lain segera dipotong oleh Wiwik, dengan ekspresi wajah pongah sambil menyilangkan kedua tangan.

Rupa masam Maya agihkan. Sudah seminggu ini Wiwik memberikan perintah yang tidak masuk akal. Seakan sengaja memancing emosi dan menguji kesabaran Maya.

"Kok diam aja?" cecar Wiwik seraya memasukkan lipstik lalu mengecek jam. "Oh iya, tisu di toilet habis sama kurang wangi, nanti kamu pel lagi ya lantainya. Pokoknya sore harus sudah beres semua loh, May. Nanti saya cek."

Tidak ada tanggapan dari Maya, ia hanya memperhatikan Wiwik yang berlalu dengan angkuh hingga sosok itu benar-benar pergi.

"Bangs—kambing!" Maya berdecak kesal, amarah telah diujung tanduk. "Nggak sekalian gue disuruh benerin genteng sama pintu rusak?"

"Sabar ya May. Kayaknya dia ada dendam kesumat dah," celetuk Rafli. "Nanti biar si Odi yang bersihin. Lagian angkat galon sama ngebersihin sini kan bukan kerjaan lo."

"Iya gue tau, itu kerjaannya Odi. Tapi dari kemarin dia disuruh Mbak Wiwik pergi keluar mulu beli ini-itu, jadi kerjaannya nggak kepegang. Gue deh yang kena."

"Toilet juga buset, digaji berapa lo May?" tanya salah satu pekerja.

"Gaji normal tapi dijadiin kacung harus serba bisa. Stres tuh orang," tanggap Maya penuh kekesalan.

Maya kembali menjatuhkan bokongnya di kursi kayu sembari menghela napas panjang. Badannya terasa sakit dibeberapa bagian sebab terlalu diforsir melakukan pekerjaan berat, belum lagi melayani pengunjung dengan senyum—yang harus—merekah.

"Emangnya lo ada salah apa deh? Gue seriusan kasihan ngeliat lo dikerjain gitu, Gyuta juga kena imbasnya noh," tanya pekerja yang lain seraya fokus membantu Rafli.

"Iyalah, gebetan dia gue embat," gumam Maya seraya memasang tampang malas membahas soal itu.

"Ga, ini meja enam ya," ujar Rafli seraya memberikan pesanan. "Kenapa May?"

"Gue mau lanjut kerja, di depan udah—"

"May, nggak papa? Jangan dipaksa kalau badan lo nggak kuat." Arga terlihat khawatir, pun pekerja yang lain menjeda kegiatannya sebab melihat Maya hampir kehilangan keseimbangan.

Kepala Maya berdenyut nyeri, sejenak ia menutup mata untuk mengembalikan fokus. "Nggak, nggak apa-apa."

"Istirahat aja nggapapa May, pas Mbak Wiwik nggak ada juga kan. Dari pada ntar lo pingsan," tutur Rafli.

"Bener May, atau mau ijin aja? Wajah lo pucet. Ntar kami bantu bilang ke Mbak Wiwik," timpal Arga.

"Thanks kawan-kawan kuh, masih aman kok." Maya tersenyum simpul.

***

"Heh, Gyuta. Cepet sini masuk, sungkem dulu sama suami gue!" seru Maya yang tengah membuka pintu.

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang