5: Air

244 35 3
                                    

Tiga puluh menit sekaligus membersihkan badan, Maya mempertahankan diri di dalam kamar mandi. Sekarang ia meringkuk di atas toilet duduk yang tertutup.

Terkadang, ia masih merasa takut seperti sekarang. Kekerasan yang dilakukan sang ayah angkat cukup membekas pada memori. Rasa sakit kala benda keras menghantam tubuh kurusnya, menimbulkan goresan-goresan perih di hati. Nada suara tinggi memekakkan telinga, beserta cacian menggaung di kepala. Sungguh, mengingatnya saja sudah membuat kepala sakit.

Rasanya, Maya ingin menyalahkan dirinya lagi. Ia hanya takut kekerasan itu akan kembali terulang.

Maya menggigit telapak tangan samping—bawah ibu jari—dengan sekuat tenaga tuk melampiaskan semuanya hingga tangan berhenti gemetar. Rasa kesal, takut, amarah. Matanya pun memerah sebab menahan air mata yang hendak tumpah.

Ketukan membuat Maya menyudahi gigitan. Sembari mengambil napas dalam-dalam dan menetralkan suasana, ia segera membuka pintu. Dapat dirasakan kehadiran Jefran yang berdiri tepat di hadapannya.

"Mau minum?"

Maya menengadah, lalu menggeleng cepat.

Jefran menatap Maya cukup lama.

"Bukan wedang jahe," sahut Jefran kemudian menuntun Maya untuk duduk di sofa.

Mereka duduk bersebelahan. Dari binar mata, kini Maya sedikit terlihat antusias kala melihat kepulan asap mengudara dari cangkir yang diberikan Jefran.

"Hati-hati, panas."

Maya mengangguk pelan. Isi gelas tidak begitu jelas, tetapi dari aromanya Maya yakin betul bahwa itu adalah susu cokelat. Ternyata tidak begitu panas. Kehangatan dari kedua telapak tangannya yang memegang cangkir menjalar hingga ke relung jiwa. Satu tegukan, hati gelisah pun kian memudar.

"Mas nggak minum juga?"

"Kalau malam ngga konsumsi yang manis."

Remang-remang cahaya tak lantas mengurangi penglihatan tajam Jefran. Terutama bekas gigitan pada tangan Maya.

"Em, soal obat ...."

"Kita bicarakan besok." Jefran beranjak untuk duduk di kursi kerja yang tak jauh. Setelah memakai kacamata baca, fokusnya kini menulis sesuatu pada sebuah buku.

Maya hanya diam memperhatikan seraya menaruh cangkir. Ia mengangkat kedua kaki, mendekapnya erat. Meski sangat membenci suasana gelap disertai suara bising air hujan nan deras, kini hatinya tetap terasa hangat. Bukan karena sinar dari api lilin, melainkan keberadaan sosok pria di seberang sana.

"Kerjaan ya Mas?"

Tidak ada tanggapan.

"Mas Jefran kerja apa?"

"Besok kamu akan tahu."

"Mau tau sekarang, boleh?"

Gerakan tangan Jefran berhenti. Kedua bola matanya bergerak menatap Maya.

"Pertanyaanku nggak aneh kan? Maksudnya, sekarang aku itu is—istrinya Mas Jefran, masa nggak boleh tau kerjaan suami sendiri?" Belum sempat Jefran menanggapi, Maya masih terus melanjutkan dengan berani. "Terus, kita nggak ada foto berdua. Itu hal kecil yang perlu Mas pikirin juga loh. Demi nama baik Mas dan juga aku, seenggaknya punya foto kita sebiji aja gitu."

Jefran melepas kacamatanya, terlihat kesulitan untuk memotong.

"Nomor HP! Gimana aku ngabarin kalau nggak punya nomor Mas Jefran? Sama eee ... akun medsos. Kita harus saling follow-an, iya kan? Terus baju couple—itu nggak perlu banget sih, tapi seenggaknya punya satu juga bukan masalah."

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang