25: Cincin

141 17 0
                                    

"Tapi selama di Jogja janjikan saya satu hal."

Maya melonggarkan pelukan, ditatapnya sorot mata teduh sang suami.

"Jangan lepas cincin pernikahan kita, dalam keadaan apa pun."

"Kenapa?"

"Kamu sanggup atau tidak?"

Sudah dua hari semenjak kedatangan Maya dan Jefran ke Yogyakarta di mana Dahlia menetap untuk sementara waktu. Rumah cukup besar untuk dihuni dua orang dengan lima kamar tidur, satu dapur, dua kamar mandi, sebuah ruang tamu, serta garasi yang diubah menjadi warung sederhana yang diurus oleh Bi Surti.

"Bu, nggak istirahat? Biar Maya aja yang nyiramin tanamannya." Maya berlari kecil ke depan teras. Banyak tanaman hias di sepanjang pagar, menambah indah dan sejuk area halaman.

"Kamu yang harusnya istirahat, Nduk." Dahlia menggerakkan selang ke samping. "Udara Yogyakarta ndak ramah buat kamu."

"Ibu masih marah?"

Dahlia tidak merespon. Langkah demi langkahnya diikuti oleh Maya dari belakang, ikut menyusuri tanaman. Semakin lama gadis itu pun semakin menempel, mencoba merayu sang ibu.

"Mamaku yang paling cantik, jangan marah gitu, nanti keriputnya muncul."

"Ibu sudah bilang ke nak Jefran, besok kalian pulang ke Jakarta."

"Ibu ngusir Maya? Padahal Maya masih kangen banget sama Ibu." Maya perlahan mengambil alih selang air yang masih menyala, kemudian mematikan keran dan menaruhnya ke tempat semula.

Lewat kontak fisik singkat barusan Dahlia dapat merasakan tubuh Maya yang masih panas. Ekspresi anak perempuan kesayangannya itu belum begitu segar. Sungguh, Dahlia sangatlah khawatir. Hatinya resah terpancar pada sorot mata.

Dahlia menuntun Maya untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Nduk, Ibu bukannya mengusir kamu atau pun Jefran. Ibu sangat rindu kalian. Ibu juga senang kita bisa berkumpul lagi, berjumpa lagi," kemudian Dahlia menggeleng pelan, "tapi bukan di Jogja. Di mana pun asalkan jangan di sini. Kamu harus segera pulang ke Jakarta."

Setelah sekian lama, Maya baru melihat lagi gurat kegelisahan pada raut wajah Dahlia. Ekspresi tenang yang selama ini terpampang teguh pun akhirnya runtuh. Maya pikir semakin jelas mengapa selama ini Dahlia seakan memutus komunikasi, hanya bertukar kabar lewat surat.

Maya menunduk, menatap cincin pernikahan yang bertengger apik pada jemarinya.

"Ini pilihanku sendiri, Bu."

"Masih ada tempat lain yang lebih aman untuk memulihkan ingatanmu."

"Tapi cuma di Jogja, di kota ini ingatanku bisa pulih lebih cepat, Bu." Maya mencoba menyakinkan Dahlia. "Jepang kan? Mas Jefran juga ngasih opsi itu, tapi setahun di sana belum tentu ingatanku bisa pulih."

Dahlia bergeming. Pikirannya larut dalam konsekuensi besar yang sang anak harus pikul. Sesuatu yang dapat memulihkan dengan cepat bukan berarti pertanda baik. Masing-masing memiliki bayaran yang setimpal, sehingga pengorbanan yang dikeluarkan harus besar.

"Maya rasa ... ada yang harus Maya selesaikan di sini. Memori Maya sebelum di Jogja semuanya hilang. Titik mulanya di kota ini. Ibu pernah bilang kan, kalau Maya harus ingat tujuan awal?"

Benar. Sejatinya ruh sang putri yang melayang ribuan tahun itu diembuskan—terbawa lantunan doa hingga ke Yogyakarta. Lalu jadilah Sasmaya Anindyawati. Peran yang dia emban sekarang sebagai perempuan biasa yang berbalut serba kekurangan.

Disitulah akar permasalahan muncul. Syarat yang terbentuk adalah Maya tidak boleh kembali datang ke tanah kelahirannya.

Ingin ditutupi setebal apa pun bila takdir berkata demikian, Dahlia bisa apa? Baru dua hari tapi Maya sudah perlahan mulai mengingat hal-hal janggal yang sebelumnya hilang.

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang