28: Dua

128 11 0
                                    

Genteng di atas kamar Dian sudah dibenahi. Letaknya bergeser yang menyebabkan kebocoran sehingga air dapat merembes masuk. Catatan tambahan, Jefran harus membeli genteng baru untuk mengganti beberapa yang sudah retak.

"Tunggu di bawah saja," tutur Jefran ketika Aldi ikut naik ke atas genteng.

"Aldi mau nongkrong di sini," ujarnya sambil duduk berselonjor di sebelah Jefran.

Pantas. Kemungkinan lain yang dapat menimbulkan keretakan pada genteng—salah satunya ulah Aldi.

"Om, ada kerjaan nggak? Apa aja Aldi terima." Kaki Aldi bergoyang pelan. "Aldi kerjanya abis pulang sekolah, kok. Nggak ganggu waktu belajar."

"Bekerja belum menjadi kewajibanmu sekarang." Jefran menunduk, memperhatikan sikap santai Aldi.

"Tapi Aldi mau bantu Mama. Sekarang cuma Mama yang Aldi punya."

Angin berembus halus, menyelinap masuk ke relung jiwa menciptakan sebuah ketenangan terhadap setitik kemirisan. Mereka mengabaikan terik sinar matahari yang berjaya. Pada ujung tempat berlawanan, gerombolan anak kecil berseru riang sembari memperebutkan bola. Seakan melepas penat, tak kenal lelah bila tujuannya adalah bermain.

Namun, Aldi tidak mempunyai waktu untuk sekadar melakukan apa yang disuka untuk anak seumurannya. Cukup melihat sang ibu bahagia sudah menggantikan segalanya.

"Mau main bola?"

Aldi menoleh dengan memasang tampang bingung.

"Setelah itu kita bicara soal pekerjaan."

Aldi menarik ujung bibirnya tinggi. Bukan karena mendapat permen manis atau pun roti hangat, melainkan secercah harapan demi membahagiakan sang ibu.

"Makasih, Om!" seru Aldi terlihat gembira.

Sekitar lima meter sebelah barat, di bawah pohon besar dekat kandang sapi. Seseorang tengah mengawasi. Ada lagi sebelah timur, berjarak lebih jauh sekitar tujuh meter berbaur dengan warga yang sedang duduk di pekarangan. Mungkin komplotannya masih ada yang lain.

Jefran sadar akan kejanggalan tersebut. Setiap ia sengaja memperhatikan, orang itu akan berpura-pura sibuk. Berjalan ke sana-kemari. Namun saat Jefran seakan lengah, mereka akan kembali bersiaga. Sangat jelas, tersemat maksud lain.

"Tapi Aldi nggak punya bola."

Jefran mengukir senyum tipis. "Kita beli."

Di lain sisi, pada akhirnya Maya memilih untuk menceritakan seluruhnya tanpa terkecuali. Hal tersebut tidak bisa diabaikan, butuh kejelasan. Fakta bahwa Aldi berjualan roti di pom bensin tentu menimbulkan reaksi kaget sang ibu—Dian terlihat kecewa, bukan karena sikap yang diambil anaknya melainkan pada diri sendiri.

"Gusti ... anak itu benar-benar." Dian menggeleng lemah sambil terbatuk. "Dia sering bilangnya main tapi ternyata malah kerja. Sempat sekali kepergok, sudah saya bilangin tapi tetap saja ... alasannya selalu untuk membantu saya."

Maya dapat menangkap emosi sedih dari kilat mata Dian.

"Anak itu masih kelas empat SD, tapi sudah punya kesadaran tanggung jawab yang tinggi." Senyum Dian berubah pahit. "Semenjak kakak laki-lakinya meninggal, anak itu merasa harus menggantikan kakaknya menjadi tulang punggung keluarga."

Lagi-lagi pening hadir pada waktu yang tidak tepat. Maya harus sedikit menahan rasa sakit yang menjalar.

"Ibu hanya tinggal berdua sama Aldi? Maaf, kalau Bapak ...?"

"Suami saya sudah meninggal tiga tahun yang lalu." Dian kembali menyunggingkan senyum tipis kemudian pindah duduk disebelah Maya. Keduanya saling pandang. Sorot mata Dian mengisyaratkan sesuatu yang kuat. "Kamu ... sudah tahu kan, siapa suamimu?"

(My)sterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang