16. Permintaan Es Krim

448 74 31
                                    

Kafka menyusuri jalanan dengan hati-hati, mencari keberadaan Shenka. Tanpa uang, tanpa ponsel, Kafka benar-benar khawatir akan kondisi Shenka sekarang.

Kafka tidak tahu harus bertanya pada siapa. Dia pun baru menyadari jika Shenka tidak mempunyai teman. Ya, Benar-benar tidak ada sosok di dekat Shenka yang bisa dia tanyai, atau mungkin bisa Shenka sandari saat ada masalah seperti ini.

"Di mana sih, Shen? Kalau marah mending ngamuk sambil mukul-mukul, daripada ngilang kayak gini." Kafka memukul kepalanya. Harusnya tadi dia memegangi Shenka lebih kuat, agar dia tidak pergi sendirian. Minimal sampai Kafka memberikannya uang.

Ting!

Bibi:
- Neng Shenka udah dateng, Den. Dia langsung masuk kamar.

Itu seperti oase di tengah Sahara. Kafka menghela napas lega, dia pun segera memacu motornya menuju rumah.

"Kalau lagi ngambek gini, Neng Shenka susah keluar kamar. Bahkan buat makan. Biasanya keluar tengah malam, jadi sisa makanannya dibiarin di meja aja, Den," pesan ART-nya saat berpapasan di depan.

Meskipun begitu, Kafka tetap menghampiri kamar Shenka. Dia berdiri di depan pintu yang tertutup rapat. Kafka pun mengetuknya pelan.

"Shen, makan dulu?"

Tidak ada jawaban.

Kafka tak menyerah dia mengetuk lagi. "Maaf, kita bicara baik-baik ya?"

Kafka mendengar suara gedebuk dari dalam. Mungkin Shenka melempar bantalnya ke pintu.

Kafka menghela napas. Dia tahu dari awal Shenka itu benci pada Elisa. Kafka juga tidak bermaksud sengaja apalagi melakukan saran Satya untuk mendekati cewek itu. Tadi di kelasnya yang punya pulpen lebih dari satu hanya Elisa. Kafka hanya tidak mau Shenka terkendala belajarnya karena tidak ada pulpen. Bodohnya Kafka tak terpikir untuk pergi ke koperasi.

Saat membeli yang Shenka minta pun, Kafka bukan sengaja meminta saran Elisa. Kebetulan mereka bertemu di minimarket saat Kafka hampir membeli semua jenis pembalut di sana. Memang Kafka yang kemudian berinisiatif untuk menanyakan apa yang biasanya dibutuhkan cewek lagi di saat masa menstruasi. Itu karena Kafka ingin melakukan yang terbaik buat Shenka.

Meskipun Shenka menyebalkan, meskipun tingkahnya di luar nalar. Kafka masih menyayangi cewek itu. Sekarang, entah bagaimana Kafka membujuk cewek itu.

"Aku bakal keluar, jadi kamu makan ya?"

oOo

Meskipun Kafka sudah berada di luar sampai jam 8 malam, tapi semua makanan di meja masih utuh. Kafka bahkan memeriksa kulkas dan tak ada perubahan di sana.

Namun, di pagi ini, Kafka bisa sedikit bernapas lega. Dua batang cokelat yang kemarin dibelinya hilang, termasuk pembalut yang sudah Shenka ambil satu buah itu. Setidaknya ada yang masuk ke dalam perut cewek itu.

Kafka sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia kembali berdiri di depan kamar Shenka lalu mengetukkan punggung tangannya.

"Shen, mau sekolah nggak?" tanya Kafka dengan lembut. Sayangnya tidak dijawab oleh orang dari dalam sana.

"Kalau nggak mau nggak papa. Jangan lupa sarapan, kalau ada sesuatu bilang sama Bibi. Uang jajan aku simpan di atas kulkas ya."

Kafka terperanjat kaget begitu pintu itu tiba-tiba terbuka. Shenka keluar dari sana dengan tangan yang mendekap laptop. Tanpa melihat sedikit pun pada Kafka, cewek itu melenggang pergi. Kafka pun bergerak cepat menyusul.

"Shen kita berangkat bareng," ucap Kafka begitu melihat Shenka membuka gerbang sendiri. Cewek itu hanya mengedikkan bahu lalu cepat berjalan keluar.

"Shen, kalau mau naik angkutan, seenggaknya ambil dulu uang--"  ucapan Kafka tidak berlanjut begitu Shenka menaiki boncengan Satya.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang