13. Kemarahan

560 75 25
                                    

Shenka mengunci pintu kamar dan tidak mau mendengarkan siapa pun. Hingga Andra dan Teresa pun menyerah dan berangkat tanpa berpamitan pada cewek itu.

Kafka berdiri di depan pintu yang masih tertutup rapat itu. Punggung telunjuknya mengetuk-ngetuk. Tentu, orang tuanya sudah menitipkan banyak pesan untuk menjaga Shenka.

"Mau sekolah nggak?" tanya Kafka. Dia melirik jam di tangannya. Sebenarnya ini sudah agak telat. Jika berangkat sekarang pun mereka akan sampai setelah bel berbunyi.

"Mau!"

Terdengar suara ribut, sebelum cewek itu membuka pintu dengan sedikit terengah-engah. "Sorry, aku kesiangan."

Kafka terdiam untuk beberapa saat. Jadi dia tidak menyahut tadi bukan sekedar mengabaikan orang tuanya? Tapi karena dia yang memang masih tidur?

Sepertinya kekhawatiran Kafka tadi tak berguna. Wajah Shenka sekarang terlihat baik-baik saja. Maksudnya senyuman yang seolah siap menyorokkan Kafka ke dasar jurang itu tersungging dengan begitu manis.

Kafka menghela napas lalu berjalan ke depan. Shenka langsung meraih tangan Kafka dan memeluknya. Kafka cukup terkesiap, tapi saat Shenka mendongak dengan raut tanpa dosa, Kafka pun tak ada pilihan selain membiarkannya.

Sesuai dugaan Kafka, mereka tiba setelah bel masuk berbunyi. Satpam dengan wajah galak sudah memindai mereka dari kejauhan.

"Kalau masuk sama aja kayak kita nyerahin diri buat dihukum nggak sih?" Shenka yang menempatkan dagunya pada bahu Kafka pun bisa menyimpulkan dengan baik.

Cewek itu pun memekik kaget dan refleks memeluk Kafka dengan erat begitu cowok itu tiba-tiba mengubah arah motornya. Bukan menuju ke arah gerbang, tapi jalan ke sisi kiri sekolahnya.

"Kak Kaf mau ke mana sih?" tanya Shenka saat mereka melintasi gang yang tak terlalu besar. Tak lama cowok itu berhenti lalu memberi isyarat agar Shenka turun.

Meski penuh pertanyaan, Shenka pun menurut. Cowok itu meraih tangan Shenka lalu mendekati tembok belakang sekolahnya.

"Bisa manjat?"

Senyum lebar tiba-tiba terbit di bibir Shenka, diikuti dengan binar-binar di matanya. "Jadi kita mau ngelakuin adegan yang kayak di film-film itu?"

"Terserah, tapi--"  Kafka tak melanjutkan perkataannya karena Shenka tiba-tiba menarik juga menekan bahunya hingga tubuhnya menjadi berjongkok.

Shenka menepuk-nepuk bahu Kafka dengan cengiran iblisnya. "Kak Kafka nggak perlu sungkan kalau mau lirik atas, aku pake celana pendek kok."

Shenka hendak naik pada pundak Kafka, tapi kemudian dia menyadari jika sepatunya bisa membuat seragam cowok itu kotor.

"Nggak perlu dibuka," ucap Kafka begitu melihat Shenka membuka sepatunya.

"No, Kak Kafka pikir aku sekurang ajar itu?"

Lebih dari itu, gumam Kafka dalam hati. Justru aneh jika Shenka memakai sopan santun seperti ini.

"Siap ya Kak Kafka."

Shenka pun mulai memijakkan kakinya pada pundak Kafka. Dia juga berpegangan pada tembok hingga saat Kafka mulai berdiri, tidak terjadi drama yang tidak penting.

"Bisa naiknya?"

"Bisa, jangan remehin."

Shenka pun menaiki tembok yang sisa sepinggangnya itu, dia pun duduk dengan anggun di atasnya. Dia melirik ke bawah yang hanya ada hamparan rumput? "Terus turunya gimana?"

"Bentar."

Kafka melompat, tangannya meraih ujung tembok, lalu tanpa kesusahan dia naik lalu mendarat di sisi dalam dengan mulus.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang