Mereka pulang menggunakan taksi, meskipun begitu Shenka tetap melanjutkan tidurnya. Hingga saat sampai, Kafka pun harus menggendong Shenka lalu memindahkannya ke kamar cewek itu.
Kafka sesekali melihat Shenka dari pintu yang sengaja dirinya buka setengahnya, cewek itu tetap lelap tertidur. Padahal sekarang sudah nyaris jam 7 malam. Orang tuanya bahkan sudah pulang.
"Shenka udah bangun?" tanya Andra seraya menghampiri Kafka yang memainkan ponsel di sofa ruang tengah.
"Tumben banget. Dia biasanya nggak bisa tidur siang-siang, kalau bisa pun cuma sebentar. Emang apa yang dia lakuin sampe lowbatt gitu?" Andra membubuhi tawa di akhir kalimatnya. Memang setelah semakin kenal, Andra ini punya selera humor yang begitu receh.
"Tadi Kafka bikin Shenka ngambek. Maaf."
Kening Andra berkerut. "Kenapa minta maaf? Papa yakin pasti Shenka yang salah, dia pasti yang over 'kan?"
Kafka mengangguk dengan ragu. Bagaimana pun Andra ayah Shenka, Kafka tidak ingin membuat jelek citra Shenka di depan ayahnya sendiri.
Andra tiba-tiba merangkul dan menepuk-nepuk bahu Kafka. "Kamu yang sabar ya, Kaf. Nanti Papa nasehatin Shenka biar nggak terlalu seenaknya lagi."
Lagi, Kafka hanya bisa mengangguk-angguk.
"Hebat, Papa bener-bener bisa percayain Shenka sama kamu. Terus sama Shenka ya, Kaf."
Sepertinya seru mendengar kalimat seperti itu dari seseorang yang bukan berstatus sebagai ayahnya.
oOo
Kafka pergi sebentar karena Teresa menyuruh membelikan beberapa hal di minimarket yang tidak jauh dari rumahnya. Kira-kira menghabiskan waktu setengah jam. Dengan mengantri juga berjalan pulang-pergi.
Namun, dengan waktu yang sesingkat itu, keadaan rumah berubah seratus delapan puluh derajat. Vas-vas pecah dan berserakan di lantai. Figura foto bahkan benda-benda yang lain pun juga berjatuhan seolah baru saja terjadi gempa besar.
Kafka menghampiri Teresa dan Andra yang sama-sama berdiri diam melihat kekacauan itu.
"Apa yang terjadi?" tanyanya seraya terus memandangi kekacauan-kekacauan itu.
Andara mengusap wajahnya. "Shenka ngamuk," jawabnya dengan ekspresi yang masih rumit.
"Shenka?" ulang Kafka dengan nada tidak percaya. Kafka tahu Shenka itu aneh, tapi tidak menyangka sampai bisa berbuat seperti ini.
"Papa pernah bilang 'kan sama kamu kalau Shenka itu nggak biasa. Bukan sekali dua kali dia kayak gini. Dia selalu kayak gini kalau ada keinginan dia yang nggak diturutin," jelas pria itu yang diikuti helaan napas. Sorot matanya menjelaskan betapa dirinya begitu pusing sekarang.
"Apa yang bikin dia marah sekarang?"
"Dia nggak setuju kami pergi ke Bali."
"Shenka takut ditinggal?"
Andra menunduk. Sebelah tangannya memegang kepala. "Almarhum Mama Shenka kecelakaan waktu menuju Bali," jelas Andra dengan suara yang lebih pelan.
Bibir Kafka sedikit terbuka. Ia yang semula merasa kesal akan tindakan Shenka itu seketika berubah. "Terus kalian tetap akan pergi?" Nada suara Kafka begitu jelas tidak suka.
"Kafka kamu mungkin menilai kami egois."
Itu memang egois, lanjut Kafka dalam hati. Shenka pasti punya trauma besar sampai dia mengamuk sehebat ini. Kematian orang yang disayang, itu bukan hal yang sepele.
"Papa pengen Shenka berubah. Papa sadar jika kenapa Shenka tetap setantrum ini karena dari dulu Papa selalu kabulin mau dia ketika mengamuk. Papa nggak mau kebiasaan dia ini terus berlanjut. Shenka semakin bertumbuh, suatu hari dia juga pasti akan berkeluarga, tapi dia yang seperti ini, siapa yang bisa nerima?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sister
Teen FictionKetika cewek yang lagi disayang-sayangnya adalah anak dari suami nyokap lo. Mau benci, tapi masih cinta. Mau cinta, dia adek lo. *** Orang bilang kebucinan Kafka pada Shenka itu sudah pada tahap akut. Kafka tak masalah dicap lebay. Baginya Shenka a...