19. Double Date

282 55 29
                                    

Shenka tidak bicara lagi padanya. Meski tidak melakukan hal ekstrim seperti menghindar atau kabur, Shenka bertingkah seolah Kafka adalah benda mati yang tidak perlu ia hiraukan.

Shenka membuat jarak di atas motor, saat tidak sengaja berpapasan di rumah pun, cewek itu langsung berbalik dan mengambil jalan lain untuk tidak bersinggungan dengan Kafka.

Kafka terduduk dengan lemas di pojok kamarnya. Dia mengetuk-ngetukkan kepala pada tembok. Berapa kali pun dipikirkan, Kafka tak menemukan solusi.

Jadi, haruskah Kafka benar-benar merelakan Shenka pada Satya?

Hatinya mengaum, menyuarakan penolakan.

Namun, di sisi lain Kafka juga tidak bisa membiarkan Shenka terus begini. Memang tidak ada amukan, tapi dia mogok makan. Belum lagi dia juga tidak membalas Andra dan Teresa, membuat mereka khawatir.

Mencintai bukan soal memiliki, tapi membiarkan dia menapaki jalan kebahagiaannya.

Kafka ingin sekali membantai orang yang membuat quotes sialan itu. Kafka yakin orang itu pasti belum merasakan situasi seperti Kafka sekarang, dia hanya bisa omong kosong saja.

"Bangsat!" Kafka menarik rambutnya. Memutuskan untuk menyudahi perdebatan yang ada di dalam hatinya itu. Menjadi kakak yang bertanggung jawab atau cowok sialan yang membuat masalah karena keegoisannya.

Kafka bangkit lalu berjalan keluar untuk menghampiri kamar Shenka. Dia mengetuk pelan pintunya, beberapa saat menunggu dan tak ada jawaban yang diterima. Kafka mengulang sampai tiga kali dengan hasil yang sama.

Kafka menarik napas lalu menghembuskannya dengan berat. "Jadi mau kapan double date-nya?"

Suara ribut tiba-tiba terdengar dari kamar yang sebelumnya seperti tidak ada kehidupan itu. Pintu di depan Kafka pun terbuka menampilkan Shenka yang sedikit terengah-engah dengan mata bulatnya yang berbinar.

"Kak Kafka mau?" tanyanya dengan penuh semangat.

Meski senyum yang dia ukir kini terlihat pahit, tapi akhirnya Kafka bisa mengangguk juga.

"Yeay!" Shenka bersorak senang sebelum memeluk tubuh Kafka.

"Makasih Kak Kaf, aku sayang banget sama Kakak," ucap Shenka tanpa peduli Kafka yang kini sudah menjadi patung.

Kafka tidak tahu sudah selongsor apa otaknya. Dia patah hati, tentu, tapi di sisi lain bisa-bisanya dia merasa senang karena dipeluk Shenka begini. Sepertinya Kafka benar-benar gila.

Shenka memundurkan wajahnya agar bisa bertatap dengan Kafka, sementara tangannya masih melingkari tubuh cowok itu.

"Malam ini gimana? Aku bakal kasih tau Satya, kalo perlu aku juga yang bilang sama Elisanya, jadi Kak Kafka tinggal siap-siap aja."

"Terserah kamu," jawab Kafka tanpa semangat.

Shenka berjinjit lalu mengecup pipi Kafka tanpa terduga.

"Makasih ya, Kak Kafka. Aku mau mandi dulu." Cewek itu pun kembali masuk ke dalam kamarnya dengan langkah riang.

Meninggalkan Kafka yang menjadi arca dengan mata yang melebar.

Apa Shenka benar-benar setidak punya hati itu?
Dia memberikan kecupan pada orang yang masih mencintai dia padahal beberapa saat lagi dia juga akan berkencan dengan cowok lain.
Apa Shenka tak punya belas kasih sedikit pun untuk hatinya yang malang itu?

Kenapa Kafka dipertemukan dengan iblis cantik jahat itu?

Tuhan, takdir ini terlalu kejam.

oOo

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang