25. Melarikan Diri

215 50 51
                                    

"Dadah Mama, kalian semua jangan lupa jagain Mama aku ya."

Shenka melambai-lambai dengan kaki yang mulai meninggalkan pemakaman itu. Dia baru berhenti menggerakkan tangan saat mereka sudah sampai di tempat Kafka memarkir motornya. Senyum hangat yang sedari tadi terpancar redup, digantikan tatapan datar pada Kafka.

Kafka memang berjanji tidak akan bersuara, tapi dirinya tidak bisa menahan rasa penasaran lebih lama lagi.

"By, tadi kamu manggil Papa?"

Shenka hanya mencebik lalu mengambil helm dari atas motor.

"By, tolong jawab aku." Kafka menahan tangan Shenka. Mengambil alih helmnya lalu menyimpan kembali ke atas motor.

"Iya," jawab Shenka setelah menghela napas. Dia pun menatap Kafka dengan wajah menyebalkannya.

"Ayah biologisnya kamu?"

"Mmm, udah 11 tahun, masih bisa tes DNA nggak ya?" Shenka mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagunya.

"By, aku serius."

"Iya Papa aku terus siapa lagi?"

"Jadi Papa Andra itu ayah tiri kamu?"

"Adeknya Mama." Shenka mengoreksi dengan bibir yang berdecak. "Aku 'kan udah pernah bilang Mama Teresa itu cinta sejatinya Papa Andra. Papa nggak pernah nikah tau, dia selalu nungguin Mama Teresa."

Ekspresi Kafka terlihat rumit. Antara tidak menyangka, bingung, dan perasaan lainnya yang tidak bisa Kafka definisikan. Bibirnya terbuka, lalu terkatup kembali karena tidak tahu apa yang harus dirinya katakan. Ini plot twist terbesar yang Kafka temui. Yang membuatnya ingin memaki semua hal yang sudah dia lewati dengan susah payah di belakang.

"Kenapa kamu nggak bilang dari awal, By?"

Seandainya Kafka tahu fakta itu, dia mungkin tidak akan pusing akan permasalahan suka pada anak ayah sambungnya. Kafka tak perlu merasa berdosa. Kafka tak perlu melakukan hal-hal bodoh itu.

"Kak Kafka nggak pernah nanya."

Rahang Kafka mengeras. "Kamu datang dan ngenalin sebagai anak dari calon suami mama aku, apa yang perlu aku pertanyain lagi?"

"Artinya Kak Kafka nggak ada inisiatif."

"SHENKA!" Kafka kehilangan kendali. Gejolak dalam dirinya terus meluap-luap. Dia memegang kedua bahu cewek itu tanpa disadari mencengkeramnya dengan kuat.

"Kamu nggak mungkin nggak sadar apa ya buat aku pusing kayak orang gila selama ini! Kamu tau jelas apa itu! Tapi kenapa kamu nggak ngasih tau aku!" Sorot mata Kafka terlihat begitu kecewa.

"Aku selalu berpikir karena kamu pengen jaga hubungan Mama sama Papa. Tapi apa ini? Seandainya kita bersama pun kita nggak bakal ganggu hubungan mereka." Mata Kafka terlihat berkaca-kaca.

"Apa seseru itu permainin aku, Shen?" Suara Kafka merendah.

"Liat kebodohan aku yang selalu masuk dalam tipu daya kamu. Kenapa kamu harus sejahat ini?"

"Iya, aku bohongin kamu," ungkap Shenka pada akhirnya.

"Aku bukan cewek yang kalem, lembut, pengertian. Itu emang sama sekali bukan aku. Iya, aku pura-pura buat semua itu."

Kekecewaan di wajah Kafka semakin terlihat jelas.

"Tapi meskipun itu semua bukan sifat aku, tapi yang lakuin itu diri aku, Kaf. Aku!" Shenka memukul-mukul dadanya sendiri.

"Aku lakuin semua itu biar kamu suka aku!"

"Iya, biar selanjutnya jalan kamu buat permainin lebih mudah, 'kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang