Shenka berbaring dengan handuk dingin yang menutup matanya. Di sampingnya Kafka tidak ada kerjaan dengan hanya diam melihat saja. Kafka ingin bertanya apa kepribadian memang mudah berubah, karena dari tes MBTI-nya Kafka termasuk ekstrovert, tapi hampir setengah jam kini dirinya hanya diam tanpa obrolan sedikit pun dengan Shenka.
"Udah nggak dingin." Shenka melepas handuk kecilnya, memasukkan ke dalam air es lalu kembali memasangkan ke atas kelopak mata.
Sejelas itu tidak ada gunanya Kafka di sini. Entah apa yang membuatnya bertahan. Apa karena Shenka yang diam dan kalem? Mungkin. Karena cantiknya Shenka saat tidak banyak bertingkah itu sangat berbeda. Shenka punya hidung mancung dengan tonjolan kecil tulang, terlihat manis. Bibirnya tipis dengan warna alami yang cantik. Apalagi ada tahi lalat di pipi kanannya.
Mungkin wajar Shenka pernah bercerita dulu sampai ada yang membuat bom demi menjadi pacarnya, karena secara fisik Shenka benar-benar menonjol. Tak munafik, alasan dulu Kafka pertama mengajak kenalan juga karena melihat dia cantik.
Katanya cowok memang melihat dari fisik, makanya mungkin perasaan Kafka susah hilang meski sudah tahu kelakuan Shenka di luar nalar.
Argh, kenapa lagi-lagi Kafka harus membahas ke sana?"Kak Kafka!"
Kafka nyaris mengumpat kaget karena Shenka yang tiba-tiba bangun dan memekik kencang itu. Handuknya terjatuh, menunjukkan mata membelalak yang kini menatap Kafka.
"Ada apa?" Kafka cukup ikut panik, raut Shenka seperti menunjukkan sesuatu yang gawat.
"Aku mau jalan-jalan," ucap Shenka dengan mata yang masih melotot itu.
Kafka mendengkus. "Kenapa harus kayak orang kaget gitu," gerutunya.
"Karena idenya muncul di kepala aku secara tiba-tiba." Shenka tersenyum lebar.
Dia cepat-cepat turun dari kasur tangannya menarik Kafka untuk berdiri. Selanjutnya dia mendorong punggung Kafka untuk keluar dari kamarnya.
"Kak Kafka siap-siap. Aku juga mau siap-siap."
"Nggak ada yang nyetujuin," ucap Kafka dengan helaan napas lelah.
Shenka membalik tubuh Kafka agar menghadapnya. "Jadi Kak Kafka nggak setuju keluar sama aku!" Shenka menghentakkan kaki dengan raut marahnya. Matanya menatap Kafka dengan tajam.
"Oke, kita pergi."
Senyum cerah seketika terbit di wajah Shenka. "Nggak perlu oke-oke banget kok dandannya." Shenka mengedipkan sebelah matanya.
oOo
Kafka tak mengira jika tempat yang Shenka ingin kunjungi adalah toko dessert. Dia memesan banyak sekali jenis makanan manis itu. Meja outdoor yang memang tak terlalu besar itu penuh. Tempatnya cukup bagus, banyak pohon-pohon rindang yang cocok dijadikan untuk tempat bersandar.
"Foto dulu!" seru Shenka ketika Kafka hendak menyuap.
Shenka cepat-cepat berpindah ke samping Kafka. Tangannya menadah. "Pinjem hpnya."
Tanpa banyak protes Kafka menyerahkan ponselnya. Shenka membuka fitur kamera lalu menyorot tangannya yang memegang panna cotta.
"Tangan Kak Kafka mana?"
Dengan lelah, Kafka pun ikut ke dalam bidikan cewek itu.
"Satu ... dua ...."
Shenka terlihat fokus menangkap angle yang bagus, sementara Kafka fokus menatap wajah fokus Shenka yang penuh binar senang itu. Syukurlah, dia tidak lagi sedih seperti semalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sister
Teen FictionKetika cewek yang lagi disayang-sayangnya adalah anak dari suami nyokap lo. Mau benci, tapi masih cinta. Mau cinta, dia adek lo. *** Orang bilang kebucinan Kafka pada Shenka itu sudah pada tahap akut. Kafka tak masalah dicap lebay. Baginya Shenka a...