24. Rasa Sayang

261 58 42
                                    

Kafka memberhentikan motornya. Dia hendak membuka jas hujannya begitu Teresa tiba-tiba menghampiri.

"Shenka nggak ada!" ucap wanita itu dengan wajah yang penuh kecemasan.

"Apa, Ma?"

"Shenka nggak ada, dia nyariin kamu! Papa udah nyari, tapi sampe sekarang belum ada kabar. Ini udah sejam, Kaf. Shenka di luar sana sendirian," papar Teresa yang sudah seperti ingin menangis.

"Shenka tau tadi kamu pergi ke mana? Papa bilang kemungkinan Shenka bakal datengin tempat itu."

"Kafka nggak bilang."

Teresa memegangi kepalanya. "Gimana ini? Papa bilang Shenka nggak bakal mau naik kendaraan di situasi kayak gini, dia pasti jalan kaki. Bahaya banget, Kaf."

"Tapi Kafka tadi bilang kumpulan anak panjat tebing, apa dia ke sana?"

Mata Teresa membelalak seolah baru menemui harapan. "Ayo susulin dia ke sana, Kaf!"

Kafka kembali naik ke atas motornya. Tanpa kata cowok itu pun langsung memacu motornya untuk pergi.

Hujannya begitu deras Kafka berkendara dengan terus melihat ke sekitar. Menjadi seseorang di sebuah kota besar seperti ini tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi sudah satu jam berlalu, jejak Shenka sudah jelas bukan ada di dekat-dekat rumah lagi.

"Kamu ke mana, By?" Kafka bergumam dengan penuh rasa takut. Arah yang dirinya ambil hanya tebakan kasar saja. Kafka tidak tahu tempat yang sebenarnya Shenka tuju di mana.

Kafka melihat seorang gadis yang berjalan di trotoar, cepat-cepat Kafka memberhentikan motornya.

"BY!"

Gadis itu menoleh, lalu kemudian lari ketakutan. Dia bukan Shenka.

Kafka pun melanjutkan pencariannya. Berkali-kali dia berdecak, mencoba menghilangkan ketakutan-ketakutannya. Bagaimana jika ada orang yang mencegat Shenka seperti dirinya tadi? Lalu orang itu berniat jahat dan melukai Shenka?

Isi pikiran Kafka semakin keruh.

Lampu motor Kafka pun menyorot seorang pejalan kaki. Basah kuyup dengan payung patah yang dirinya seret. Kali ini Kafka tidak salah lagi, ia yakin dengan sweater bergaris yang cewek itu kenakan.

Kafka menghentikan motornya lalu berlari menghampiri.

"BY!"

Langkah kaki cewek itu pun berhenti, dia berkali ke  belakang. Shenka dengan wajah yang begitu pucat. Cewek itu melempar payung rusaknya lalu berlari ke arah Kafka.

Bugh!

Dia memberikan tinjuan pada perut Kafka.

"KALO AKU CHAT TUH DIBALES! KALO AKU NELPON TUH DIJAWAB!" teriak cewek itu sembari terisak-isak dalam tangis. Melihat matanya yang membengkak, sepertinya dia sudah menangis sejak lama.

"Maaf, kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan?" Kafka hendak memeriksa keadaan Shenka. Sendal yang terpasang di kaki cewek itu hanya sisa sebelah, khawatir akan apa yang Shenka alami. Namun, tangan Kafka ditepis dengan kasar.

Sorot mata yang penuh kemarahan dengan bahu yang naik turun menahan gejolak emosi. Kafka hendak memeluk untuk menenangkannya, tapi lagi-lagi Shenka menolak.

"KENAPA NGGAK JAWAB TELEPON AKU!"

Kafka mencoba memeluk Shenka lagi, kali ini lebih dia paksakan. Shenka menjerit dan berontak, tapi Kafka tak melepaskannya.

Tak lama pun Shenka terdiam, hanya suara tangisannya yang terdengar di antara berisiknya suara hujan.

"Makasih udah khawatirin aku," ucap Kafka dengan lembut di samping telinga cewek itu.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang