23. Pahlawan

196 46 40
                                    

"Kak Kafka bangun."

Shenka menyimpan ujung telunjuknya pada pipi Kafka lalu menggerakkannya dengan bentuk melingkar. Mencoba mengusik tidur nyenyak cowok itu di pagi ini.

"Kak Kafka bangun," ucapnya lagi setelah melihat Kafka yang menggeliat sebentar, tetapi malah kembali tidur tenang.

Usahanya belum juga menunjukkan hasil ternyata. Setelah mengumpulkan rasa tega, Shenka pun menarik selimut Kafka lalu menghempasnya jauh ke lantai.

"Kak Kafka ih bangun!" Shenka beralih metode dengan suara yang tinggi. Waktu itu Kafka tidak susah dibangunkan. Apa semalam cowok itu bergadang karena sekarang hari Minggu, jadi dia leha-leha?

"Anak Bibi masih sakit, aku sama Mama rela bangun pagi buat masak sarapan. Masa Kak Kafka nggak ada pengorbanan? Hargain usaha aku dong!"

Shenka mencebik melihat Kafka yang tetap tidak memberikan respon apa-apa. "Mau aku jepit hidungnya biar nggak bisa napas? Biar tau rasa?"

Shenka duduk di tepi ranjang, ia sedikit membungkuk tangannya siap melakukan aksi hingga tanpa terduga Kafka menarik lengannya itu dan membuat Shenka terjatuh ke atas dadanya.

Shenka menggeram saat sadar dirinya dipermainkan. "Kak Kafka!"

Shenka memukul dada cowok itu. Dia hendak bangkit kembali, tapi tangan Kafka malah melingkar dan memeluknya. Cowok itu pun membuka kelopak matanya dan memberi Shenka senyuman kecil.

"Udah, lepasin. Aku tungguin di meja makan." Shenka mencoba melepas tangan Kafka, tapi cowok itu memberi penolakan dengan memberi tenaga lebih besar.

"Bangunin pake cara lembut dulu."

"'Kan udah bangun."

"Belum."

Shenka berdecak sementara Kafka hanya tersenyum senang. Shenka pun mengulurkan tangan lalu mengusap-usap pipi cowok itu.

"Bangun, yuk?" ucapnya dengan nada yang lembut.

Kafka merasa gemas dan memeluk Shenka lebih erat. "Nggak mau."

"Aku bilangin ke Mama."

"Bilangin apa?"

"Bilangin kalo Kak Kafka nggak anggap aku sebagai adeknya."

"Oh ya? Terus aku anggap kamu apa?"

"Ya pokoknya bukan adeknya."

"Pacarnya." Kafka mengoreksi seraya mengusap kepala Shenka.

"Sana bilang ke Mama kalo berani. Paling Mama syok berat. Terus tau kalo putri yang disayang-sayang ternyata bohong selama ini. Pura-pura nggak kenal anaknya padahal mereka pacaran."

"'Kan udah putus."

"Meski kamu bilang gitu. Menurut kamu, kalo Mama udah tahu kita ada sesuatu, dia bakal biarin gitu aja? Ini mungkin bisa jadi kali terakhir kamu diizinin masuk kamar ini."

Shenka terdiam, dia terlihat berpikir. Kafka senang melihat kebingungan itu. Karena artinya, Shenka tidak ingin kemungkinan yang dia sebutkan itu terjadi.

"Ya udah, bilang aja," ucap Shenka pada akhirnya diikuti helaan napas. Bukan ekspresi mencak-mencak, melainkan seperti orang yang patuh menerima keadaan. Sangat bukan citra seorang Shashenka Zaitlin.

Kafka melotot. "Apa maksudnya?"

"Bilang ke Mama, 'kan? Ya udah ayo, tapi Kak Kafkanya cuci muka dulu."

"By!"

Shenka hanya mengerutkan kening tidak mengerti. "Jadi, ini harus bilang apa nggak?"

Kafka bangkit, dia terduduk dengan menggenggam kedua tangan Shenka. "Aku serius, kamu tau 'kan Mama  nggak bakal biarin kita barengan kayak gini."

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang