14. Janji

417 77 31
                                    

Shenka turun dari boncengan Kafka dengan sedikit loncatan senang. Bahkan saat berjalan memasuki rumah, dia menari-nari dengan musik yang terputar di dalam kepalanya sendiri.

"Eh?" Shenka sedikit terkaget begitu Kafka memegang tangannya, menghentikan dia yang hendak pergi ke kamar dengan tarian asalnya itu.

"Kenapa?" Cewek itu bertanya dengan alis yang naik-turun.

Kafka membawa Shenka ke sofa lalu mendudukkannya di sana. Dia segera membuka laci di bawah TV dan mengambil kotak P3K. Terlihat pro, Kafka mencari dengan lugas di antara obat-obat yang terkumpul berantakan itu.

"Sini tangannya."

Shenka tersenyum lebar lalu dengan senang hati mengulurkan tangannya yang tadi dicakar. Kafka menekan salep yang dia ambil lalu mengoleskan dengan perlahan pada luka Shenka.

"Lain kali hati-hati. Kalo orang lain berani pake kekerasan, lawan. Atau nggak minta bantuan ke orang, jangan diem aja."

"Nggak mau, males."

Kafka menatap Shenka datar atas jawaban yang begitu tidak terduga itu.

"Kan ada Kak Kafka yang bakal lindungin aku." Shenka memamerkan deretan giginya. Matanya berkedip-kedip centil.

"Aku nggak mungkin 24 jam sama kamu."

"Ya tinggal buat Kak Kafka terus di sisi akulah."

Kafka menatap cewek itu tanpa kata. Sementara Shenka masih dengan senyuman anak iblisnya. Dia tidak tahu bagaimana Kafka memaknai lain kalimat yang barusan dia ucapkan itu.

Kafka mengalihkan perhatian dengan mengeluarkan ponsel. Dia terlihat mengutak-atik untuk beberapa saat. "Mau makan apa?" Tadi pagi pembantunya izin tidak masuk karena anaknya sakit, tentu sekarang tidak ada makanan yang tersedia di sini.

"Oh! Aku mau mie rebus!" Cewek itu tiba-tiba berdiri lalu berjalan cepat ke arah dapur. Tanpa aba-aba dan selalu seenaknya.

Kafka berpikir untuk pergi ke kamarnta. Yang penting Shenka makan, tugas Kafka sebagai orang yang dititipi oleh kedua orang tuanya gugur. Shenka tak akan punya alasan berkata yang tidak-tidak pada mamanya.

Namun, tiba-tiba Kafka terpikir, apa Shenka benar-benar bisa masak mie instan ya? Bagaimana kalau dia malah meledakkan dapurnya? Dengan tingkahnya yang selalu ajaib itu?

Kafka cepat berdiri lalu menghampiri cewek itu. Shenka sedang menaruh panci berisi air. Dia pun menyalakan kompor. Senyum kecil yang terukir di bibirnya membuat Kafka sedikit teryakinkan. Untuk sekedar memasak mie instan, sepertinya  Shenka bisa.

Shenka sedikit berjinjit lalu mengambil dua bungkus mie instan. Dia menaruh di meja, bersisian dengan dua mangkuk yang sebelumnya sudah cewek itu siapkan.

"Kak Kaf, mau pake sayur? Telor? Sosis?" tanyanya penuh semangat. Pada keningnya seolah tertulis dia akan melakukan dengan sepenuh hati.

"Samain aja."

Shenka tersenyum dan mengangguk. Salah satu senyuman yang agak bahaya bagi Kafka. Jika harus memilih, Kafka lebih baik melihat Shenka tersenyum iblis dengan segala rencana anehnya, dibanding senyum tulus seperti barusan. Karena Kafka tidak tahu cara menghadapinya. Hatinya masih terlalu payah.

Kafka hendak membantu, tapi Shenka cepat mengangkat tangannya, menolak inisiatif Kafka dan menyuruh cowok itu untuk duduk saja. Kafka pun tak ingin mencari perdebatan dan memilih menurut. Dia hanya memperhatikan apa yang Shenka lakukan.

Terlihat seperti orang yang 'benar'.

Entah terbuat dari apa perasaan Kafka ini. Hanya melihat Shenka yang bertingkah normal saja, hatinya sudah bergemuruh akan perasaan yang selama ini coba dia hilangkan. Usahanya untuk menenggelamkan seperti sia-sia mudah sekali timbul lagi ke permukaannya.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang