18. Kemelut Kafka

271 50 26
                                    

Shenka memasuki kelas dan menuju bangkunya yang ada di baris ketiga. Katrin yang punya kebiasaan menyalin tugas orang lain terlihat fokus akan buku catatannya hingga tak memberikan sapaan seperti biasanya. Shenka melihat bingkisan di tangannya, tanpa berpikir panjang dia menyimpan ke hadapan teman sebangkunya itu.

"Buat gue?"

Shenka mengangguk. Meski dirinya nyaris belum punya keakraban dengan teman-teman sekelasnya--karena dia selalu memfokuskan Kafka dan keluar dari kelas lebih awal, tapi karena Katrin ini sebangku, jadi Shenka cukup punya obrolan dengan dia. Bukan aneh jika berbagi seperti ini.

"Thanks," ucap Katrin sembari tersenyum setelah melihat isinya. Satya bilang ini oleh-oleh karena kakaknya pulang dari Jepang, dipastikan isinya lumayan untuk membuat senang.

"Eh ini dari cowok lo ya?"

"Siapa?"

"Kafka." Katrin memutar bola mata. "Emang pacar lo nggak cuma satu?"

Shenka hanya tertawa kecil. "Bukan, dia. Itu dari Satya."

"Gila!"

Shenka cukup kaget karena Katrin yang tiba-tiba mengumpat. Raut senang tadi berubah menjadi penuh amarah dalam sekejap. Katrin bahkan memegang kedua bahu Shenka dan memaksa cewek itu menghadap dia sepenuhnya.

"Nggak ada otak ya si Satya tuh." Matanya menyipit tajam. Entah kemarahan untuk siapa, tapi di sini terlihat Shenka yang tengah dimarahi.

"Lo mungkin belum tau karena belum lama di sini, tapi si Satya itu playboy cap badak!"

Shenka mengernyit. Shenka memang belum terlalu kenal cowok itu, tapi memang apa urusannya dengan Shenka soal bagaimana dia sebenarnya?

"Udah banyak banget korban dia."  Katrin membeberkan dengan sorot serius, menjelaskan jika dia sama sekali tidak main-main dengan ucapannya

Shenka memiringkan wajahnya. "Termasuk lo?"

Tebakan Shenka sepertinya tepat melihat Katrin yang langsung merapatkan rahangnya. Diam-diam Shenka tersenyum kecil. Rupanya Katrin punya dendam terselubung.

"Pokoknya lo jangan kehasut sama dia, sebaik apa pun. Dia beneran nggak ada otak, cewek temennya sendiri aja dia deketin. Pokoknya lo harus hati-hati sama dia. Udah, dibandingin sama si Kafka, masih menang Kafka."

Shenka mengangguk-angguk. Toh sebenarnya dia juga tidak peduli. Dia meminta Satya karena tidak ada lagi yang bisa dimintai bantuan.

Shenka membuka tasnya, tangannya merogoh untuk mengeluarkan buku. Namun, sesaat kemudian tangannya mematung. Shenka tak punya gairah dalam hidupnya sekarang, rasanya hanya akan menjadi buruk jika mengikuti pelajaran. Apa sebaiknya dia bolos saja ya?

Senyum Shenka tiba-tiba terbit dengan lebar. "Trin. Gue ke toilet dulu."

"Jangan lama, bentar lagi bel."

Shenka mengangguk-angguk yang jelas hanya omong kosong belaka.

oOo

Keputusan Shenka untuk bolos ternyata tepat. Hari ini kelas Kafka olahraga, Shenka yang berada di atap tentu bisa bebas melihat apa yang dilakukan cowok itu di lapangan.

Kafka yang lihai dalam bermain basket terlihat keren. Poninya yang menyatu karena keringat punya kesan sendiri saat terlempar-lempar karena gerakannya. Di mata Shenka itu benar-benar menggemaskan.

Shenka menyimpan dagunya pada lipatan tangan. Entah terik matahari atau terpaan angin yang bisa membuat rambutnya kusut, cewek itu tak peduli. Matanya hanya terfokus pada cowok yang bahkan jersey-nya mulai mencetak tubuh dan sedikit terengah. Kafka yang menikmati permainan membuat auranya memancar dengan baik.

Hello SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang