Begitu bel istirahat berbunyi, Shenka langsung berlari keluar. Bahkan mendahului guru yang mengajar. Shenka lakukan hal ini karena jarak kelasnya dan kelas Kafka lumayan. Dia harus segera tiba sebelum cowok itu keluar.
"Misi-misi." Shenka berhimpitan dengan anak-anak kelas Kafka yang berjalan keluar. Dia pun menyunggingkan senyum lebar begitu melihat Kafka masih di bangkunya.
"Onni-chan," panggil Shenka dengan gaya centilnya. Dia duduk pada kursi di depan Kafka dengan posisi menghadap cowok itu.
"Apa?"
"Mau dimsum," ucapnya dengan mata yang berkedip-kedip lucu.
"Nggak bisa, aku dipanggil sama guru. Ke kantin sendiri aja."
Shenka mengerucutkan bibirnya dengan helaan napas kecewa.
"Kalo aku nggak dateng, malah makin bermasalah. Sendiri aja ya?" Kafka memasang raut meminta pengertian dari Shenka. Penjelasan lembut juga tatapan berisi kemumetannya cukup membuat hati Shenka tersentuh.
Shenka pun memutuskan tidak egois lalu menadahkan telapak tangannya.
"Apa?" tanya Kafka bingung.
"Aku nggak punya uang, semua uangku kan dikasih sama Kak Kafka."
Kafka mengusap wajahnya. Kecurigaan dia tadi pagi tak sia-sia. Memang mustahil cewek itu suka rela memberikan uangnya.
"Hal yang wajar kan kakak jajanin adeknya?"
Kafka menghela napas. Dia pun merogoh saku lalu memberikan uang 50 ribu pada tangan Shenka. Tahu begini Kafka akan bawa uang cewek itu lalu kembalikan semuanya.
"Makasih." Shenka tersenyum riang lalu pergi dari sana. Langkahnya yang ceria cukup kontras dengan anak cewek lainnya yang berjalan lebih kalem. Mungkin karena Shenka lebih muda atau tingkahnya memang seperti itu.
Sialnya itu menarik perhatian anak-anak cowok yang masih ada di kelas. Kafka pun menatap teman-temannya itu tajam.
oOo
Kafka mendapatkan ceramah panjang. Terutama untuk beberapa tugasnya yang belum dikerjakan. Kepala Kafka rasanya penuh. Tanpa sadar dia juga mengacak rambutnya hingga berantakan.
Kafka kembali ke bangkunya. Dia melihat beberapa uang pecahan 5 ribu yang ditimpa kopi kalengan. Elisa memang sering memberinya sesuatu, tapi untuk kali ini jelas jawabannya adalah Shenka.
"Kenapa kembaliannya harus dibalikin?" Kafka bertanya-tanya kecil. Dia kemudian memilih menggeleng-geleng, membuka kopi itu lalu meneguknya. Lumayan untuk mencairkan kepalanya yang mumet.
"Kaf, Shenka diliat-liat manis juga ya."
Kafka seketika menolehkan kepalanya pada Satya dengan tatapan yang tajam.
"Santai, Bro. Gue cuma ngomong aja," ucap Satya dengan kedua tangan terangkat. Sementara cengiran tengilnya masih dia tampilkan.
"Lo beneran udah kayak abang beneran kalo kayak gini."
Kafka memutar bola matanya kesal. Kafka sekarang mempertanyakan kenapa dia menjadikan Satya teman. Lihatlah dia yang kini sedikit mencondongkan kepala pada Kafka.
"Lo belum move on?" bisiknya dengan begitu menyebalkan. Beberapa saat kemudian dia tertawa puas. Meski Kafka tidak menjawabnya, dia tentu bisa menilai dari tatapan cowok itu.
"Masih bisa karena bukan incest, tapi tetep susah diterima lingkungan Kaf."
Kafka tahu itu, tidak perlu diperjelas lagi!

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Sister
Fiksi RemajaKetika cewek yang lagi disayang-sayangnya adalah anak dari suami nyokap lo. Mau benci, tapi masih cinta. Mau cinta, dia adek lo. *** Orang bilang kebucinan Kafka pada Shenka itu sudah pada tahap akut. Kafka tak masalah dicap lebay. Baginya Shenka a...