22 Juli 2022
Semua orang memeluk tubuhku seolah waktu akan berakhir. Ibu dan bapak menjamuku dengan ekspresi sedikit hawatir. Pelukan mereka begitu erat sehingga aku sedikit sulit untuk bernafas.
Sore itu tampak sedikit ramai di penuhi kawan kampung, yang ikut riuh dalam rangka perpisahanku. Paman dan bibiku berdatangan untuk sekedar memberiku sepatah dua patah nasihat. Yang tentunya, hanyaku balas dengan senyuman meyakinkan saja.
“Pergilah dengan keyakinanmu. Ibu tidak bisa membekalimu uang banyak, ini tabungan yang ibu kumpulkan. kamu pakai sebutuhnya saja, belajarlah berhemat.” Ibu menjulurkan gumpalan kain lusuh ke arahku.
Sontak aku menatap mata ibu, yang saat itu tampak terlihat berkaca-kaca. Sesungguhnya aku ingin menangis di hadapannya, namun di sisi lain aku tidak mau membuat suasana semakin terbalut kesedihan.
“Baik terimakasih bu,” Ucapan itu aku lontarkan dengan sedikit berat.
“Jangan lupakan sholat 5 waktu, bangun itu minimal jam 5 pagi. Kamu disana hidup sendiri, yang paling penting pintar pintarlah membagi waktu. Di sana kau tidak bisa lagi bermalas-malasan seperti kerbau Giwang,” Bapak berseru di belakang ibu dengan wajah tegas.
Saat ini Ekspresiku sedikit malu, hal itu tentunya aku sadari.
“Siap pak, Giwang akan usahakan itu,” Balasku dengan sedikit tersenyum.
Wajah bapak tampak semakin serius menatapku tegas. “Yasudah, niatkan semuanya dengan bulat, Tanggung resikonya. Kamu hidup di kota orang, jadi jaga diri baik-baik, jangan pernah berpikir senangnya saja.”
Aku menatap bapak dalam, untuk meyakinkan semua keraguannya. “Baik pa, ingsyaallah Giwang bakal berubah.”
Sebenarnya aku tidak suka yang namanya berbasa-basi. Lantas hal ini memaksaku untuk merasakan simpati yang seharusnya tidak pernah ada. Sedikit lebai, namun ini tanda bahwa mereka benar-benar peduli denganku.
Mungkin untuk kali ini aku akan membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Dan berusaha tersenyum untuk menuntaskan validasi teman-teman sekaligus saudaraku saat ini.
Meskipun saat ini, aku berfikir. “Aku bakal pulang lagi, jangan sok sedih seperti ini.”
Rasanya Sungguh sangat melelahkan hidup bersama orang-orang yang penuh drama ini, ya tuhan.
***
Tas besar berwarna merah sudah aku pikul di atas punggung. Keadaan halte bis kampung tidak begitu ramai. Di sana hanya ada aku dan perempuan tua yang sejak tadi sibuk membenahi barang, yang ada di dalam tasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah si anak pecundang (Selesai)
Teen FictionWARNING!! ❗⚠️ Cerita ini mengandung tragedi yang cukup dalam. Tidak di sarankan untuk yang mempunyai penyakit jantungan. Cerita ini, mungkin bisa di baca, sekali duduk saja. [Budayakan follow sebelum baca] Giwang Nasution, pemuda yang berasal dari...