"Wang, aku di mana?" lirih Ano membuatku terbangun dari tidur.
Saat itu aku duduk sembari tertidur di shofa yang ada di samping ranjang. Dan sedangkan nala, dari jam satu pagi sudah aku suruh untuk pulang. Karena aku khawatir dengan kesehatannya, toh pagi nanti dia akan bekerja, jadi mau tidak mau, aku harus terus menerus memaksanya untuk pulang, ya meski beberapa kali dia menolak. dia terus beralasan bahwa. kasihan melihatku di sini sendirian menemani ano.
Saat nala pulang, aku hanya menitipkan pesan untuk pak david, jika dia datang mengunjungi ruko. Bahwa hari besok aku tidak akan masuk bekerja dulu. Karena rasanya tidak mungkin aku meninggalkan ano sendirian di rumah sakit.
"Ano, kau sudah sadar?" jawabku seraya menjernihkan pandangan menatap ano dan jam dinding yang ternyata sudah menunjukan pukul tiga pagi.
Ano saat itu masih kebingungan, sembari memerhatikan sekitar. Ekspresi wajahnya terlihat menahan rasa pusing yang cukup hebat.
"Kamu tadi kecelakaan ano," lanjutku seraya berdiri dan menghampiri tubuh ano.
"Bukanya kau marah kepadaku giwang? Maafkan aku wang. Aku tidak tahu, bahwa nala itu wanita yang selalu kamu maksud. Lagi pula, aku tidak ada hubungan apa-apa apa dengan Nala," lirih ano menatap sendu kearahku.
Sontak hal itu membuat aku semakin merasa bersalah. Dalam keadaan seperti ini, dia masih sempat meminta maaf kepadaku. Aku benar-benar merasa bodoh saat ini. Rasanya sangat malu dengan semua tindakanku.
"Wang, apa kamu memaafkanku?" lanjur ano masih menatapku sayu.
"Tidak Ano, kamu tidak salah. Justru di sini aku yang salah, maafkan aku ano. Aku yang sudah membuatmu seperti ini. Aku yang bodoh ano, aku yang bangsat. dengan tanpa alasan, aku telah menyakiti temanku sendiri. Maafkan aku Ano," sontak aku menjawab persoalan ano dengan penuh rasa sakit.
Aku saat ini membenci diriku sendiri. Aku terlalu jahat untuk di panggil teman, aku manusia pecundang yang tidak tahu rasa malu. Bisa-bisanya aku, membuat Ano merasa bersalah, padahal sebab utama di balik permasalahan ini adalah aku. Jika pada saat itu aku berbicara baik-baik, rasanya tidak akan terjadi seperti ini.
Tidak terasa air mataku menetes di hadapan ano. Sulit di pungkiri, semua ini begitu sesak.
"Wang," ujar ano menatap dalam kearahku seraya tersenyum, "Semua ini sudah ada pada garis takdir hidupku, jangan pernah menganggap dirimu salah. Ini hanya perihal pembelajaran bagi hidup kita mengenai sebuah saling mengerti satu sama lain. Jika membicarakan salah, aku juga salah wang. Aku tidak pernah bertanya siapa orang yang selalu kamu banggakan itu, dan akupun tidak pernah bertanya siapa nama perempuan itu. Selama berbulan bulan lamanya, kita di tutupi keajaiban tuhan yang pada akhirnya terbongkar harus seperti ini." Ano mengalihkan pandangan kearah atap ruangan. "Maafku saat ini, semoga menjadi jembatan, untuk bisa melupakan yang sudah terjadi giwang," lanjut ano tersenyum kembali menatapku dalam. "Tidak ada seorangpun, yang salah dari kejadian ini."
Aku terdiam menyeka tangis, dia benar-benar bijak sana, aku bangga memiliki sahabat seperti dia. Dalam keadaan yang cukup parah ini, dia masih berpikir baik kepadaku.
"kepalaku pusing wang, ada apa dengan kepalaku," lanjut ano sembari mengusap perban yang ada di atas dahinya.
"Jangan terlalu di tekan ano," seruku sedikit terkejut dengan tangan ano yang terus meraba-raba perban.
"Kepalaku kenapa giwang? semua ini terasa pusing dan ngilu," ujar ano menatapku heran.
"Dahimu baru saja di jahit dokter sebanyak empat jahitan," Jawabku menatap ano khawatir. "Kata dokter, pusingmu akan hilang lima sampai tujuh hari saja," lanjutku menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah si anak pecundang (Selesai)
Teen FictionWARNING!! ❗⚠️ Cerita ini mengandung tragedi yang cukup dalam. Tidak di sarankan untuk yang mempunyai penyakit jantungan. Cerita ini, mungkin bisa di baca, sekali duduk saja. [Budayakan follow sebelum baca] Giwang Nasution, pemuda yang berasal dari...