Pulang

22 7 0
                                    

Tiga hari aku mencari keberadaan Ano. Berbagai cara, hingga aku lakukan, bahkan sampai mengelilingi penjuru kota sekalipun. dan pada akhirnya, hanya sia-sia yang aku dapat. Tidak ada sedikitpun pencerahan untuk semuanya.

Sulit di pungkiri, saat ini aku masih menyimpan banyak kekesalan Kepada Ano. Dengan wajah polosnya, dia mengambil semua hasil keringatku selama berbulan-bulan lamanya. Semua itu tentu tidaklah mudah, namun anak itu malah mengambilnya bak tanpa rasa bersalah.

Di sisi lain, aku sangat menyesal harus kenal dengannya. kebaikannya ternyata hanya menyimpan bangkai yang mungkin sudah berniat memberikan semua itu kepadaku.

Sampai hati dia rela mengorbankan temannya sendiri, dan sampai hati dia merugikan kehidupanku setragis ini.

Rasa sakit hati ini akan terus aku ingat sampai kapanpun. Keberadaannya saat ini mungkin menjadi pertanyaan besar. Namun rasa dendamku tidak akan pernah pudar selagi alasan belum sempurna aku dapatkan.

Sempat aku berpikir bahwa iya memilih pulang kerumahnya. Sehingga pada saat ini aku sangat kesulitan untuk mencari. Dia tidak pernah memberikan alamat lengkap rumah. bahkan dia juga tudak pernah bercerita perihal apapun terkait kehidupannya di sana.

***

Jam sudah menunjukan pukul 00.30. beberapa hari kebelang, jam tidurku sangat terganggu dikarenakan kericuhan di atas kepala. Tidak jarang aku berpikir perihal kejadian yang akan menimpa bapak jika hutang itu tidak terlunasi. Rasanya meminjam uang untuk menutup hutang yang terbilang banyak ini akan cukup sulit. Adapun meminjam uang ke salah satu bank lain, semuanya tidak akan mungkin bisa.

Untuk Sampai saat ini, akupun tidak berani bercerita apapun kepada mas Nadif. Karena, di sini aku masih mempunyai keyakinan bahwa ada sedikit selah untuk mendapatkan kembali uang itu.

Dret... Dret... Dret...

Handphone yang sejak tadi aku simpan di Atas meja kini berdering. Sontak, aku membuyarkan lamunanku, dan beranjak untuk memastikan, siapa yang menelphoneku selarut ini.

Setalah aku menatap layar handphone. Aku tercengang, mendapatkan nama mas Nadif yang saat ini menelphoneku. Aku sedikit kebingan, entah apa yang akan dia bicarakan di malam ini.

Aku sangat takut, mas Nadif akan membicarakan uang itu. Namun di sisi lain, aku khawatir jika ada apa-apa. mas Nadif pertama kali menelphoneku di jam setengah satu malam. Lantas hal ini membuatku terdiam kembali memikirkan semua sisi yang membingungkan.

Satu kali aku hanya menatap layar handphone sampai panggilan itu kembali mati. Namun selang beberapa detik, mas Nadif kembali menelphone.

tanganku gemetar berusaha meraih handphone itu. Kepalaku mulai mencoba mencari alasan untuk mengalihkan mas Nadif jika benar akan membicarakan perihal uang.

Dengan segenap keraguan, aku mengangkat telphone itu perlahan.

"Assalamualaikum Wang," ujar mas Nadif dengan nada suara parau.

"Wa'alaikum salam mas. ada apa malam-malam mas Nadif menelphone giwang," lirihku gemetar mendengar suara mas nadif. Jangan sampai, uang menjadi topik utama di pembicaraan ini.

"Wang, apa kamu bisa pulang, malam ini?" lanjut mas Nadif dengan suara paraunya.

Apa maksud dari semua ini. Rasanya sangat tiba-tiba mas Nadif menyuruhku pulang. Kepalaku mulai khawatir perihal apa yang sedang terjadi di rumah. Kini Gemetarku bukan lagi takut perihal pembicaraan uang, namun perihal maksud dari suara parau mas Nadif yang saat ini menyeruhku untuk pulang.

"Pulang mas?" lirihku kembali bertanya heran.

"iya Wang. mas Nadif rasa, kamu harus pulang malam ini juga."

"Malam ini?" lirihku kembali bertanya dengan perasaan semakin khawatir. "Ada apa mas, kok tiba-tiba?" lanjutku mengerutkan dahi.

"Bapak sedang tidak baik-baik saja, kamu pulang dulu ya. Mas Nadif saat ini sudah setengah jalan, hampir sampai kerumah," jawab mas Nadif sontak membuatku tercengang.

Dadaku semakin berdegup kencang. Aku tidak tahu maksud tidak baik-baik saja itu apa. mas Nadif terdengar semakin serak. apa yang saat ini terjadi dengan bapak.

Tubuhku mendadak lemas. Pikiranku sudah tidak enak, hatipun rasanya seperti tersayat Oleh benda tajam, sehingga saat ini menimbulkan terus menerus rasa perih yang cukup hebat.

Namun Tidak sempat aku bertanya apa yang terjadi, mas Nadif kembali menutup telphone itu secara tiba-tiba. Aku bener-benar yakin bahwa mungkin saat ini ke adaan bapak sangat parah.

Tidak berlama-lama. Aku langsung beranjak membereskan beberapa baju dan celana ke dalam tas yang tidak terlalu besar. Aku pastikan semua barang yang penting, sudah sempurna aku masukkan.

Aku langsung mengganti pakaianku. Dan secepatnya beranjak menuju halte bis dengan menggunakan ojek online. Tidak peduli rasanya dengan bau keringat, lagi pula sudah tidak memungkinkan untuk aku berlama-lama lagi di sini. Mas Nadif sadah memberikan tanda bahwa harus secepatnya.

Aku berpikir bahwa saat ini, bapak mungkin mengalami sakit mendadak. Dan harus membutuhkan perawatan cepat.

***

Setelah sampai di halte bis tadi, untungnya aku masih mendapatkan jadwal tiket yang beberapa menit lagi akan berangkat. Dan saat ini, aku terduduk di salah satu bagian tempat paforitku. Ya itu, kursi yang bersebelahan langsung dengan jendela bis.

Kesunyian jalanan kota, tak lagi indah setelah aku mendapatkan kabar buruk dari mas Nadif tadi. Keresahan terus menyeruak di bagian hati terdalamku. Lanjunan doa tidak tertinggal aku khususkan untuk bapak. Seluruh kata semoga telah aku serahkan kepada sang pencipta.

Resahku kini hanya bisa tercurah dengan memandang kesegala arah. Penumpang Seisi bis tampak tertidur pulas. Di sini aku menerima kesunyian, tidak ada yang mengajakku untuk bercengkrama selain pemikiran.

Sepanjang perjalanan aku tidak bisa tertidur. Meskipun tubuh ini begitu lemas, namun tetap saja. Lemasku bukan perihal rasa lelah, namun rasa khawatir yang terus mendobrak relung terdalam sanubariku.

Bibir terus mengucap kalimah takbir, untuk menuntaskan kegelisahan yang mungkin tidak akan pernah terhenti sebelum aku sampai di rumah dengan kabar, bahwa bapak sudah membaik.

Sesekali aku memikirkan apa maksud dari kata tidak baik-baik saja itu. Namun kali ini, Tidak sungkan aku langsung mengirim pesan kepada mas Nadif untuk menanyakan kejelasnannya. Namun, semuanya sia-sia, mas Nadif tidak membaca sedikitpun pesan dariku.

Sontak hal itu seolah memberikan gambaran akan separah apa keadaan bapak saat ini. Sebenarnya aku tidak mau berpikir berlebihan tentang semuanya. Namun, sulit untung di pungkiri. keresahan ini akan terus ada, jika mas Nadif saja tidak memberi tahu kejadian sebenarnya.

Di sisi lain, rasa maklumku sedikit ada pada mas Nadif. Mungkin saja, dia sedang resah sepertiku saat ini. Jadi dia tidak memegang atau bahkan mengecek handphone sekalipun.

***

langkah si anak pecundang (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang