"Kau kurang pandai menegosiasi ano." Ujarku bersungut sungut memarihi ano yang saat itu gagal menegosiasi harga kosan perbulannya. Bagai mana tidak, saat kita tahu harganya mahal ano malah memutuskan secepatnya pergi, dia tidak sedikitpun berbasa basi menawar harga tersebut.
"kau juga kenapa tadi hanya diam saja?" tembal ano kesal denganku yang terus menggerutu tidak jelas.
Aku mendengus berat. "aku tidak pamdai berbicara ano, kaulah yang aku andalkan saat ini." Jawabku sedikit memelas di hadapan ano.
"Itu kosan giwang, bukan ikan asin yang ada di pasar minggu, jadi tidak mungkin aku bisa menawar seenaknya." Ano tidak kalah bersungut sungut menjawabku.
"Terus kita mau kemana lagi? Malam sudah semakin larut ano, sudah jauh jauh kita berjalan kesini, namun hasilnya nihil." Tembalku pasrah dan menghentikan langkah untuk duduk beristirahat di depan ruko kumuh yang ada di tepian jalan.
Jalanan yang tepat 3 meter di hadapan ruko ini sangatlah ramai di penuhi kendaraan yang berlalu lalang. Suhu saat ini terhitung dingin, rasanya nafas kamipun jika di hembuskan sedikit menguap.
Ano ikut mendudukan tubuhnya tepat di sampingku, wajahnya terlihat sangat lelah. Sulit di pungkiri Tubuh kami sangat pegal pegal, begitupun dengan punggung yang dari tadi menanggung beban yang cukup berat, angin sudah benar benar menusuk pori pori klilit, jaket tebalpun saat ini tidak ada artinya.
Sejenak aku peluk kakuku untuk sedikit meredakan rasa dingin, namun selang beberapa menit kami duduk, air hujan tiba tiba jatuh, Lantas kami sedikit terkejut dengan hal itu. hujan semakin lama semakin membesar. Sungguh menyebalakan, kehadirnya tiba tiba tanpa sedikitpun memberi aba aba, hal ini membat aku dan ano harus menahan rasa dingin yang cukup serius.
Kami meringkuk menahan rasa dingin, perlahan aku menatap sekitar, lantas merenungi nasib yang kian perih, aku tidak tahu harus kemana lagi setelah ini, huja begitu deras menerpa kota ini, jika harus menunggu reda rasanya akan cukup lama, sungguh tujuan kami gelap.
Ano sedang sibuk menatap hanphionenya, wajahnya sangat terlihat pasi, tidak ada rasa semangat yang menjalar di darahnya saat ini, air yang berjatuhan di langit sana telah memotong perjalanan kami. Tuhan sepertinya sedang benar benar menguji kami saat ini.
"Giwang, kita harus kemana lagi." Ano membuka suara sembari manatapku lesu.
Sontak aku mendongakan wajah menatap sempurna atap toko sembari meratapi nasib. "Akupun tidak tahu ano, malam sudah semakin larut. Adapun kita harus pulang lagi ke kosan pak harto tidak akan mungkin, perjalan sudah lumayan jauh." Jawabku dengan posisi masih mendongak.
Ano terlihat khawatir, begitupun dengan aku, tidak percaya rasanya jika harus menunggu siang di tempat ini. Andai saja tadi aku tidak berpikir menjadi gelandangan, mungkin kami tidak akan seperti ini.
Ya tuhan, semoga hujan ini cepat reda, kami ingin segera melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat tinggal, tubuh kami sudah benar benar menggigil. Berikan keajaiban tuhan, kami tidak tahu harus bagai mana lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah si anak pecundang (Selesai)
Teen FictionWARNING!! ❗⚠️ Cerita ini mengandung tragedi yang cukup dalam. Tidak di sarankan untuk yang mempunyai penyakit jantungan. Cerita ini, mungkin bisa di baca, sekali duduk saja. [Budayakan follow sebelum baca] Giwang Nasution, pemuda yang berasal dari...