Gemuruh air memenuhi pendengaranku. Dinginnya tubuh telah menyatu dengan air yang entah berapa meter kedalamannya. Danau ini telah berhasil memeluk seluruh tubuhku.
Dalam kegelapan, aku merasakan berjuta riuhnya perasaan. Nafasku telah sempurna berhanti. Pemberat itu membawaku melayang cepat ke dasar air.
Perlahan, sehelai kain yang menutup kedua mataku terbuka dengan sendirinya, mataku terbuka lebar menatap riuhnya seisi danau ini. Aku tidak tahu, saat ini aku sudah mati atau tidak.
Di sini, aku menyaksikan beberapa ikan air tawar mendekat ke arahku. Amisnya darah yang telah mengundang mereka.
Tubuh kelamku, kini bak umpan yang mengundang banyaknya makluk danau yang ada di sini. Darah kering mulai kembali basah, semua luka yang ada dalam tubuhku begitu perih.
Kegelapan telah tergantikan dengan pemandangan bawah danau yang cukup redup. Caya bulan telah menyanjung sedikit penglihtanku.
Aku mendongakkan wajah. perahu itu telah terlihat menjauh dari tubuhku saat ini. Dan perlahan aku mengubah pandangan kearah bawah, aku melihat kembali kegelapan yang sangat dasyat di sana.
Bak bumi tanpa dasar, yang akan mengantarkanku kedalam gelapnya rasa iba orang-orang.
Seluruh kata selamat tinggal aku ucapkan kepada bumi dan seisinya. Aku sudah tidak berdaya, tatapanku kosong, rasa dalam tubuh ini telah mati dengan riuhnya narasi halusinasi.
Semua perihal dunia akan berakhir di sini. Ternyata kemarin adalah hari terakhir aku menatap keluargaku.
Lamat-lamat aku menatap pemberat yang membelit di tali kakiku. Gembok itu tampak kokoh, sehingga aku kesulitan untuk menggerakkan kedua kakiku.
Tangan yang tertekuk kebelakang membuatku semakin sulit untuk menggapai kakiku sendiri. Mereka benar-benar memiliki strategi bagus untuk menghilangkan jejak.
Pasrah. Ya, kesekian kalinya aku mengungkapkan perasaan itu dalam benakku.
Sejenak aku memejamkan kedua mataku. Tanpa jeda, semua wajah orang yang pernah aku temui, hadir di hadapanku sembari tersenyum simpul. Mereka seolah mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Sontak saat ini, aku melihat wajah Nala yang ikut riuh tersenyum di hadapanku. Dia tampak manis dengan berjuta karisma yang ada pada dirinya, kepemilikanku atas dirinya mungkin akan berakhir di sini, namun semua kenangan itu, akan tetap melekat sampai kapanpun.
Tangan Nala terlihat melambai ke arahku, Dia terus mendekat dan mendekat kearahku. aku tersenyum simpul di atas penderitaan yang saat ini aku alami.
Saat ini wajahnya lima jengkal dari wajahku. Bola mata yang berbinar itu, sangat jelas terlihat olehku.
Dia menggenggam kedua pipiku dengan hangat.
Pak...
Tiba-tiba mataku kembali terbuka, setelah Nala menepuk ringan kedua pipiku.
Keajaiban tuhan telah tiba.
Nala benar-benar ada di hadapanku saat ini. Dia menyusulku berenang ke dasar danau dengan salah satu pria.
Dia adalah Fatah, ya, rekan kerja yang selalu setia membantuku.
Dengan lihai, Nala melepaskan tali yang membelit kedua tanganku. Dan sedangkan fatah, sibuk menggapai gembok yang berada di kakuku.
Dia membawa satu kunci di tangannya. Mereka saling memberi kode dengan jarinya, entah dari mana mereka tahu keberadaanku saat ini.
Aku kembali memejamkan mata, mungkin saja semua ini hanya halusinasiku. Mataku kembali terbuka, namun mereka masih ada di sekitarku. Ketiga kalinya aku menutup mata, meyakinkan diri sendiri bahwa semua ini hanya khayalanku saja. Aku sudah mati? Aku sudah mati? Aku sudah mati? Pertanyaan itu memenuhi ruang pemikiranku dalam keadaan mata terpejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah si anak pecundang (Selesai)
JugendliteraturWARNING!! ❗⚠️ Cerita ini mengandung tragedi yang cukup dalam. Tidak di sarankan untuk yang mempunyai penyakit jantungan. Cerita ini, mungkin bisa di baca, sekali duduk saja. [Budayakan follow sebelum baca] Giwang Nasution, pemuda yang berasal dari...