Biarkan aku tenggelam dalam kerinduan, biarkan aku tenggelam dalam kesengsaraan. Iklas begitu sulit untuk aku dapatkan. Lantas, hanya air mata yang selalu menemaniku, dikala duka kembali teringat di atas kepala. Rasanya, sulit untuk tunbuh, jika lara tak kunjung luruh dari dinding ingatan.
Perwira gagah telah pergi mendahuli sebuah perjuangan yang sedang aku usahakan. Begitu tega, iya Membiarkan pesukannya meringis sesenggukan di medan peperangan.
Memang, tidak ada kata usai dalam perjuangan. namun bagai mana aku bisa maju, jika pengendali telah pulang. iya seolah membiarkan anak buahnya menderita kesakitan.
Pa, sekuat-kuatnya anakmu menjalani hidup, jika kepergianmu yang menjadi ancaman. Tentu, kehancuranlah yang menjadi angan-angan.
Harapanku untuk kembali memelukmu, kini hanya sebuah gagasan yang tidak memungkinkan, untuk aku urai dalam kenyataan.
Namun percayalah, namamu akan selamanya abadi dalam sebuah narasi yang akan aku buat, di setiap lembar diari dan sanubari kehidupan.
***
Jam sudah menunjukan pukul satu siang. Kami berkumpul di hadapan meja makan bundar, yang penuh dengan kenangan. Makan siang saat ini terasa hambar. Wajah kami terlihat jelas hampa, di makan kesedihan.
Aku, mas nadif, ibu, dan juga adek. tidak berkutik sedikitpun, saat memandang kursi yang biasanya di duduki bapak. Perasaan tidak menyangka masih menghantui pemikiran kami. ternyata tuhan begitu singkat memberikan kehangatan dalam keluarga ini.
"Mas, ada yang harus Giwang bicarakan," lirihku membuka suara menatap mas Nadif kikuk.
Sontak, ibu dan juga ade. memandangi kami berdua yang saat ini, memang duduk bersampingan.
"Boleh, bicarakan saja," jawab mas Nadif membalas tatapanku.
"semua perihal hutang bapak. dan uang yang aku kumpulkan selama delapan bulan lamanya," aku mengalihkan pandangan ke arah meja, yang sudah tersusun berbagai macam makanan. "Giwang tidak pernah tahu. apa, dan bagai mana, kronologi bapak sampai mempunyai hutang itu," Lanjutku, masih menatap kosong kearah meraja.
Mas Nadif sesekali memandang ibu. Ibu tersenyum menanggapi pertanyaanku.
"ibu saja yang berbicara mas," lirih ibu menatap kearahku.
Sontak, aku langsung mengalihkan pandangan kearah ibu.
***
Ibu memulai pembicaraannya. Iya tersenyum simpul kepadaku yang masih menaruh pandangan kosong, menatap wajah dirinya.
Pada tahun 2010, keadaan ekonomi keluarga ini, sudah sangat kritis. Bertani bukan lagi solusi yang paling memungkinkan untuk ibu, dan juga bapak menghidupi kalian. Pada saat itu, umur mas Nadif masih dua belas tahun, dan kamu berusia tujuh tahu, sedangkan Ade, umurnya baru menginjak tiga tahun.
Pada akhir tahun 2009. Bapak jatuh bangun, untuk berusaha bertani. Namun pada akhirnya, semua sia-sia setelah mengalami gagal panen besar-besaran. Tidak hanya keluarga kami. Namun seluruh wargapun mengalami hal itu.
yang membedakan, bapak hanya mempunyai beberapa petak sawah, untuk di tanami padi. Jadi, ketika gagalnya panen. keuangan sangat merosot.
Berbagai cara bapak lakukan saat itu. Mulai dari menjadi buruh panggul di pasar yang ada di balai kampung. Berjualan singkong goreng, berjualan kopi keliling. bahkan sesekali menjadi kuli bangunan, jika ada tetangga yang membangun rumah.
Namun Penghasilannya masih sangat minim. Sedangkan biaya kalian, harus terpenuhi. Mulai dari sekolah mas Nadif, sekolahmu, dan susu buat Ade.
Tahun-tahun itu, ibu anggap sebagai tahun terberat yang ibu dan bapak alami. Namun, di sisi lain. Bapak menghadapi semua itu, penuh dengan kesabaran. Iya tidak pernah mengeluh perihal apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
langkah si anak pecundang (Selesai)
Fiksi RemajaWARNING!! ❗⚠️ Cerita ini mengandung tragedi yang cukup dalam. Tidak di sarankan untuk yang mempunyai penyakit jantungan. Cerita ini, mungkin bisa di baca, sekali duduk saja. [Budayakan follow sebelum baca] Giwang Nasution, pemuda yang berasal dari...