Arti air mata

21 7 1
                                    

Saat ini aku mendudukan tubuh di kursi yang ada di hadapan meja, yang di penuhi buku-buku komik dengan penuh keresahan. Kepalaku terus bergumam perihal pertanyaan “ada apa dengan hidupku? Apa kesalahanku? Kenapa aku tidak pernah sadar dengan kesalahanku?.

     Sesekali aku menatap kaca kecil yang ada di hadapanku. Dan tidak terasa, tiba-tiba air mataku jatuh seraya menyertai keresahan atas diriku sendiri.

     Sesekali aku menatap satu buah foto keluargaku, yang di ambil dua tahun kebelakang. Dimana saat itu, kami sedang merasakan hangat-hangatnya keluarga di tengah suasana lebaran idul Fitri.

     Sesak rasanya, menanggung takdir yang harus seperti ini. Tidak ada satu orangpun untuk bisaku ajak bercerita perihal ini.

     Bu, pak. Kenapa giwang harus seperti ini. Masalah masalah kehidupan sepertinya senang menyertai giwang Bu. Rasanya, baru tadi siang giwang merasakan kebahagiaan yang sangat luar biasa. Tetapi saat ini, giwang kembali hancur. kepala giwang seolah membenci diri giwang sendiri. Giwang rindu kalian semua.

     Aku tidak tahu apa yang salah dari perangaiku kepada Ano. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika sudah seperti ini, akupun tidak tahu, kenapa kepergiannya berhasil mengungkit semua luka yang seharusnya tidak aku pikirkan selama ini.

     Sesekali aku memeluk foto itu dengan sangat erat. Air mataku menetes dengan cukup deras. Tidak ada teman bercerita yang benar-benar aku andalkan selain foto ini. Foto yang sudah lama aku pajang di atas meja sederhana, yang senantiasa menemaniku di kala kesedihan melanda seperti saat ini.

     Tanganku meremas benda ini dengan sangat kuat. Hati seolah terbanting jauh ke dalam tebing yang sangat curam. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. jika Ano saja, pergi tanpa meninggalkan penjelasan akan kesalahanku.

     Bibirku bergetar hebat menahan semua keresahan. Juah aku menuntut sebuah kebenaran atas diriku sendiri. Bodohnya aku, aku tidak pernah faham dengan diriku sendiri.
     Mau sampai kapan aku terus seperti ini. Pecah rasanya jantung ini menahan degupan di sela semua permasalahan.

       Bu,  Pak, Ade, Mas Nadif.

        Giwang tidak sekuat yang kalian pikirkan, Giwang tidak setangguh yang kalian pikirkan, Giwang tidak sebahagia yang kalian pikirkan. Giwang butuh ibu untuk melerai semua tangisan yang giwang keluarkan. giwang butuh bapak untuk menuntaskan semua permasalahan. Kenapa giwang harus seperti ini.

     Brak !!

     Tubuhku kini bergetar. Aku membanting satu kaca kecil yang saat itu masih mengarah kearah wajahku, yang saat ini sudah terlihat sangat sembap. Kini menjadi belahan yang berserakan di atas lantai.

     “Kau bodoh, kamu tidak pernah menyadari keburukan sendiri. Kamu bodoh giwang, kamu bodoh.” Seruku berteriak histeris menatap kaca yang sudah terbelah menjadi beberapa bagian.
     “Kau Anjing giwang.” Bibirku bergetar seraya berseru lantang.

    Saat ini posisiku memeluk kedua kaki. Rasanya, Kursi ini akan menjadi saksi betapa hancurnya aku saat ini.

     Air mata tidak kunjung reda. Tubuhku terus memeluk foto, sembari tidak ada hentinya bergumam. “Bu, pak, ada apa dengan giwang.”

***

     Dret…. Dret… Dret…
     Tubuhku serentak terdiam setelah mendengar panggilan telphone yang ada di balik saku celanaku. Sontak aku berpikir bahwa itu adalah Ano.

     Dengan cepat aku merogoh handphone itu. Dan menatap hanpohoen untuk memastikan nama dari kontak yang memanggilku saat ini.

    Ternyata dugaanku salah. Layar handphone menunjukan nama mas Nadif, dia memanggilku dengan panggilan vidio. Sontak hal itu membuatku kebingungan, tidak mungkin rasanya aku menunjukan wajah yang sangat sembap ini.

langkah si anak pecundang (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang