Kelam

28 4 0
                                    

°
°
°
°
VOTE SEBELUM BACA
_

      Baru kali ini aku tertidur dan terbangun dalam keadaan gelap. Hangatnya pajar, telah berhasil membangunkanku. darah yang ada di sekujur tubuhku, tampak kaku dan mengering. Sesekali aku menggerakkan kaki dan tanganku.

     “Kau sudah bangun giwang?” suara itu terdengar tidak jauh dari tubuhku.

     “Ano, apakah itu kau?” lirihku dengan suara samar, di balik sumpalan kain.

      “Ya, ini aku.”

      “Apa maksud dari semua ini Ano?” Aku kembali bertanya, dengan tenggorokan yang terasa sakit.

     “Kau sudah mengetahui semuanya dari ayahku semalam,” suara Ano terdengar mendekat kearahku.

      “Aku mohon lepaskan aku Ano, aku mohon.”  

      “Maaf, untuk kali ini, aku tidak bisa giwang,” Ano mendudukan tubuhnya di hadapanku.

      “Kenapa kau tega, memperlakukanku seperti ini.”

     “Suaramu tidak jelas giwang,” ujar Ano, semakin mendekatkan tubuh kearahku.

      Ia menggapai tali kain yang ada di belakang kepalaku. Perlahan, sumpalan kain ini melonggar. Mulutku terasa lepas dari gembok yang berjam-jam lamanya terkunci. Bibir sedikit lega, aku leluasa untuk bicara.

     “Terima kasih,” lirihku dengan suara yang sangat jelas.

     “Hemm,” singkat Ano menanggapiku.

     Entah bagai mana ekspresi dia saat ini. Nada suaranya begitu datar menjawabku.

     “Apa yang akan kau bicarakan, bicarakanlah,” Ano mempersilakanku, sembari mendudukan tubuhnya.

     “Kenapa kau tega, memperlakukanku seperti ini?” ujarku kembali bertanya, dan beruhasa tenang.

     “Bukan aku yang tega, tapi bapakmu yang tega giwang. Dia seolah membunuh ibuku.” Ano menjelaskan masih dengan nada datar.

     “Kematian itu sudah takdir Ano, tidak ada yang bisa menyangkal hal itu.”

     “Tidak, jika bapakmu memberikan uang itu. Tentu, ibuku akan selamat,” ujarnya menyangkal pembicaraanku.

      “Terus, apa alasan kamu, mengambil uang yang ada di tabunganku itu? Jika kamu saja tahu, untuk apa tabungan itu,” aku melemparkan pertanyaan, yang selama ini aku tunggu jawabannya.

     “Awalnya, aku tidak tahu perihal utang piutang itu. Namun, saat ayah menjelaskan semuanya kepadaku. Aku baru menyadarinya. Ayah menyebutkan namamu, sebagai salah satu dari anak, yang ia tagih. Sontak, akupun terkejut dengan hal itu, dari sana, aku mulai kesal kepadamu. Dan mempunyai dendam yang sama atas permasalahan itu,” suara parau Ano, terus terngiang di telingaku, Ia tampak berat membicarakan hal itu.

     Perlahan, Ano menarik nafasnya sesaknya.

     “Uang yang aku ambil itu, tiada lain tiada bukan, Untuk perawatan ibuku. Sebenarnya, sudah bertahun-tahun ibuku mengidap deabetes. Namun, di bulan-bulan kemarin, ibu mengalami hal yang sangat parah, sehingga di haruskan untuk oprasi besar-besaran. Entah apa yang harus di oprasi, yang jelas akupun panik dengan hal itu,” suaranya berubah menjadi berat. Ia tampak seperti menahan tangisan.

     Di sisi lain, akupun memahami rasa sakitu itu. Tentu saat bapak pergi, akupun ada di posisinya. Namun ini perihal sudut pandang yang berbeda. Ia telah gelap dengan dendam yang jika di bicarakan, semua itu hal sepele.

     Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa menyangkal perihal kematian.

     Entah apa yang di bicarakan bapak, saat ato menagih uang itu. Sepertinya saat itu juga, bapak sedang berada di titik sama pusingnya mencari uang.

     Bagi keluarga kami, uang sebanyak itu sangat sulit untuk di dapatkan dengan cepat. Apa lagi, jika di lihat dari penghasilan mas Nadif yang seadanya.

     “Tapi, semua ini bisa di bicarakan baik-baik Ano,” aku kembali bersuara.

     “Tidak, Hati kami sudah terlanjur sakit giwang,” jawabnya, masih menyangkal pembicaraanku.

     “Ano, apa kamu tega melihatku seperti ini. Kau tidak ingat! Berbulan-bulan lamanya, kita saling melengkapi satu sama lain. Namun hal ini, kau tidak pernah bercerita sedikitpun kepadaku Ano,” ujarku memancing rasa ibanya.

     “Tidak, Sengaja aku tidak pernah membicarakan perihal ibu maupun keluarga lain di rumah. Karena aku tahu, aku tidak kuasa jika harus membicarakan ibu yang sakit-sakitan Giwang. Dan jika membicarakan tega dan tidak tega, tentu aku terpaksa harus tega. mengiklaskan kepergian tidak semudah itu.”

     “Tapi kenapa harus seperti ini, perlakuanmu sungguh gelap Ano,” ujarku dengan bibir bergetar, menahan rasa perih dari luka yang tertiup angin.

     “Aku tahu hal itu, namun, dendam tetap dendam. Tidak ada satu orangpun yang bisa menyangkal hal itu,” ujar Ano, masih terbalut dengan pikiran gelapnya.

     “Aku mohon, lepaskan aku Ano,” lirihku kesekian kalinya memohon di hadapannya.

     “Tidak, Maafkan aku,” datarnya singkat menjawab.

      “Ano, aku mohon,”

      “Permohonan itu Tidak ada arti untuk saat ini Giwang. Selamat tinggal untuk selamanya.”

     Degh…

     Selamanya?

     Ternyata benar. Tidak ada yang bisa untuk aku andalkan saat ini. Memohon sudah bukan lagi sulusi, Ano sudah tampak gelap dan membabi buta atas tindakannya.

     Degup jantungku semakin berdebar kencang, tidak ada hal yang bisa aku lakukan. Selain mengucapkan selamat tinggal kepada dunia.

     “Malam ini, kau akan di bawa kesalah satu Danau yang 200 meter berada di belakang gedung ini, tunggulah ajalmu itu. Ucapkan selamat tinggal kepada semua orang yang ada di muka bumi ini, termasuk kepada ragamu sendiri.”

***

langkah si anak pecundang (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang