___________________________________________
Undangan Pernikahan berwarna putih dengan emblem huruf warna emas yang timbul itu belum pernah ia buka sama sekali, bahkan, ketika Marsha memamerkan sample undangan itu, Azizi enggan sekali untuk melihatnya, saat undangan pernikahan itu sudah jadi sekitar 500 eksemplar, bahkan tak ia buka sama sekali.
Harusnya Azizi tak di sini, karena bagaimanapun, ia akan diusir sebagaimana keluarganya berkunjung tadi malam untuk meminta maaf. Harusnya Azizi tak di sini, di depan sebuah rumah satu lantai dengan halaman yang sempit, menatap pada rumah dengan lampu gelap gulita.
Ini baru pukul dua dini hari, harusnya lampu-lampu di rumah itu menyala, setidaknya lampu di luar rumah harusnya menyala. Tapi, sang Tuan Rumah seperti tak ingin menyalakannya.
Azizi memukul setir mobilnya, keberanian ini tak kunjung datang bahkan setelah ia memarkirkan mobil empat jam lamanya. Harusnya, harusnya... ia mencoba untuk datang ke sana, sebentar saja, menunjukan wajahnya pada Handa dan meminta maaf atas semua hal yang terjadi, harusnya begitu.
Lama ia berjibaku dengan kegiatannya menatap rumah tua itu dengan melamun, kesadarannya berangsur-angsur kembali berkumpul, ketika pintu rumah itu dibuka oleh seorang pria paruh baya. Pria itu tak melakukan apa-apa, selain duduk di teras dan melamun panjang.
Azizi tatap tangannya yang bengkak karena memukul setir dan memukuli orang tak tahu diri. Ia kemudian memutuskan untuk membuka pintu mobilnya dan berjalan beberapa meter untuk sampai di depan gerbang rumah Marsha, berdiri di sana terpaku, menatap Handa yang belum ingin tersadar dari lamunannya.
Udara dingin dini hari, genangan-genangan air dari jalan yang rusak, serta rintik-rintik kecil yang bisa Azizi rasakan dari pepohonan pinggir jalan yang tersapu angin terasa di tubuhnya.
Ia masih bergeming, masih menatap Handa.
"Kalau kamu ke sini hanya untuk tertawa dan meludah di wajah saya, saya sudah dapat itu dari keluargamu beberapa jam yang lalu. Saya harap kamu pergi dan enggak lagi jadi bagian dari anak saya."
"Handa, saya enggak akan minta maaf."
Handa adalah panggilan sayang Marsha kepada sang ayah, Ayahanda. "Saya yakin, minta maaf saja enggak buat semuanya kembali seperti semula."
"Ya."
"Saya cuma ingin memastikan Marsha baik-baik saja."
"Marsha akan baik-baik saja. Dia juga akan lebih berhati-hati agar tidak jatuh cinta pada orang-orang seperti kalian." Handa yang sedari tadi menunduk, kepalanya terangkat dan menoleh, menatap pada Azizi yang masih ada di depannya, terhalang oleh pagar besi tua yang warna catnya mengelupas sana-sini.
"Atas nama keluarga, saya minta maaf, Handa. Maaf..."
"Saya enggak butuh, Marsha juga. Lebih baik, anda pergi sekarang juga, sebelum Marsha tahu dan dia menjerit kesetanan seperti ketika dia bertemu keluarga anda. Nak Azizi, pergi." Handa berdiri, tangannya terangkat menunjuk Azizi, lalu bergerak mengusirnya dengan halus.
"Handa, saya minta maaf..."
Azizi menundukan kepala sejenak, sebelum tungkai kakinya bergerak menuju mobil, dengan perasaan bersalah yang teramat, juga air mata yang memenuhi pelupuk itu yang ia tahan sedemikian rupa.
Azizi akan datang lagi tiga hari kemudian, tapi, tidak bertemu Handa, akan tetapi Marsha.
...
Kudengar kalau kamu sudah menikah
Aku terlambat bilang suka kepadamu
Kudengar kamu pun s'karang punya anak
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa bukan Selamat Tinggal
FanficDalam dekap hangat pelukan itu, diam-diam ia mencuri kesedihanmu, kemudian kalian merencanakan soal masa depan, tak lama masa lalu melambaikan tangan. ... Beberapa orang percaya, bahwa acara reuni sekolah adalah salah satu pintu ajaib mengantarkan k...