32. Restless

2K 241 59
                                    

___________________________________________

Marsha Lenathea adalah wujud nyata dari wanita terjahat yang Reynaldo kenal.

Aldo memacu Mazda miliknya dengan kecepatan begitu tinggi, membelah jalan tol Bandung menuju Jakarta. Melampiaskan amarah, kecewa, tak terima, dan semua rasa bersalah juga penyesalan lewat tekanan kakinya pada pedal.

Entah bagaimana, ia tetap duduk diam waktu Azizi Bagja bercerita tentang yang terjadi pada masa lalu, mendengarnya, Aldo hanya ingin muntah, menatap jijik mereka berdua dan yang terjadi selanjutnya, ia tak percaya juga tak terima dengan penjelasan yang Azizi tuturkan.

Marsha memiliki anak, secara logika itu betulan masuk dalam pikiran Aldo, tapi, bersama Azizi? Apanya yang bisa ia percaya?

Sampai detik ini, Aldo masih percaya bahwa saat itu, saat Aldo meninggalkannya—tidak, bahkan Aldo merasa tak pernah meninggalkan Marsha sedikitpun, semua ini... semua yang ia kejar ini, hanya agar ia merasa pantas untuk Marsha dan masa depan mereka nantinya. Saat Aldo pergi, Aldo yakin Marsha mengandung anaknya, itu lebih masuk akal.

Mereka hanya berbicara omong kosong barusan, Aldo yakin sekali.

Aldo tahu, Aldo salah.

Aldo bahkan menyadarinya sehari sesudah ia memutuskan membatalkan pernikahan mereka. Tapi, setidaknya, Aldo tak pergi tanpa pamit, Aldo masih berani bertatap muka kepada Marsha, masih berani menjelaskan kenapa ia tak bisa melanjutkan pernikahan mereka dan Aldo berani yakin, saat itu Aldo juga masih mencintai Marsha, sangat mencintai kekasihnya. Aldo bahkan berniat hati, jika Marsha tak ingin Aldo pergi, maka, Aldo tak akan pergi.

Namun, waktu itu, Marsha menyuruhnya untuk pergi, jadi, ia pergi.

Ia pikir, setelah itu, Marsha akan mengerti, Marsha paham apa maksud Aldo, bahwa saat itu... pernikahan bukanlah hubungan yang tepat untuk mereka berdua.


___________________________________________

"Masih merasa enggak nyaman?"

Marsha anggukkan kepala begitu samar, ketika Azizi sore ini baru saja mengantarkan Orion. Setelah kejadian tadi siang di Kafetaria, Marsha tak ingin apa-apa selain sendirian, jadilah Azizi pergi menemani Orion jalan-jalan—atau apapun itu yang mereka lakukan, Marsha hanya berharap mereka baik-baik saja tanpa dirinya. Karena, jika boleh jujur, Marsha yang tak merasa baik-baik saja saat ini.

"Bilang sama aku, apa yang bikin kamu enggak nyaman, hn?" Azizi duduk di sofa sebelah Marsha, mengenggam tangan wanita itu yang terasa dingin, meski awalnya ragu-ragu Azizi melakukannya.

"Semuanya."

"Aldo?"

"Hn..."

"Aku?"

"Zi, kadang aku cuma takut."

"Takut sama Aldo?"

"Huum." Marsha anggukkan kepala.

"Takut sama aku?"

Marsha menatap lekat mata itu, kemudian menggeleng kecil. "Kalau aku takut sama kamu, udah dari awal aku enggak mau ngajak kamu kerja sama."

"Jadi, sebenarnya kita itu kerja kelompok ya, Sha, selama ini?" Azizi tertawa kecil, membelai lembut pipi Marsha.

"Kayaknya iya." Marsha anggukkan kepala, menjawab pertanyaan Azizi yang begitu kedengaran bercanda.

"Aku suka kerja kelompok sama kamu."

Terang saja, Marsha sedang tak ingin tertawa meski Azizi barusan mencoba untuk menghiburnya. Jadi, Marsha tak menjawab apa-apa, bahkan mengubah air muka saja tidak. Ia hanya menikmati bagaimana pria itu mengelus inci perinci pipinya, mungkin hanya itu, satu-satunya jalan ia masih bisa terlihat baik-baik saja.

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang