21. Bukan Selamat Tinggal

1.6K 207 61
                                    


___________________________________________



Telinga Marsha baru saja digempur oleh bunyi dari dering ponselnya berkali-kali, jelas itu bukan suara alarm dan niatnya sekarang bahkan hanya ingin bergumul ria di selimut sampai matahari meninggi, bukan bangun jam lima pagi hanya untuk melihat pesan di layar ponselnya.

Marsha sebenarnya malas untuk membukanya, tapi, barangkali puluhan pesan itu amat penting baginya, jadi mau tak mau ia harus membuka semua pesan yang dikirim oleh... tiga nomor berbeda. Marsha kembali memejamkan mata saat layar dari ponselnya menyala dan cahayanya menusuk netra, Marsha betulan hanya ingin tidur, itu saja.

Beberapa saat ia mulai beradaptasi dengan cahaya ponsel dan entah bagaimana tiga nomor teratas yang mengiriminya pesan membuat rasa kantuk tiba-tiba menguap dan matanya betulan segar melihatnya. Sebenarnya, bukan berarti pesan-pesan itu juga membuat perasaannya segar, ia malah jadi takut dan waspada.

Salah satu pesannya dari Azizi yang mengatakan harus kembali ke Jogja karena Kak Shani mengabarkan bahwa salah satu anak kembarnya sedang sakit, sementara yang kedua dari Armand—Marsha tahu orang itu tidak akan begitu saja melepaskan Marsha jadi banyak sekali pesan yang disampaikan, sementara yang ketiga... nomor tidak dikenal, sebenarnya dari cara pesan itu diketik, Marsha sungguh tahu dia siapa, lagi-lagi Aldo dan tingkah menyebalkannya yang terus-terusan menghubungi Marsha dengan nomor berbeda.

Marsha tidak pernah menyangka harus ada di posisi di mana ia dikelilingi tiga laki-laki menyebalkan, sebenarnya Azizi tidak, tapi, ya dalam waktu yang sama, pria itu agak menyebalkan juga.

Lalu, kabar buruknya, Marsha mendengar ada suara yang baru saja membuka pintu pagarnya dan ketika ia beranjak dari tempat tidur, menyingsingkan gorden ia bisa melihat mobil berwarna merah milik Armand dan Armand yang sedang berjalan sempoyongan menuju pintu rumahnya. Pria itu kelihatan kacau sekali, ada sebuah amarah di wajahnya dan Marsha tidak pernah sekalipun melihat orang ini marah sebelumnya, jadi, sepertinya ini adalah pertama kalinya Marsha melihat Armand marah.

Pintu diketuk beberapa kali. Marsha masih diam terpaku, menimang-nimang, apakah ia akan membukanya atau bahkan tidak sama sekali. Hari masih gelap dan jalan masih terlihat sepi, memang sebenarnya komplek rumah Marsha tidaklah ramai, bahkan diketahui bahwa rumah di depannya itu tak berpenghuni sama sekali.

Marsha membuka kunci pelan-pelan, ia mulai memutar knob pintu dan Armand di depannya mematung dengan wajah yang terlihat marah juga putus asa.

"Sha, kita cari jalan keluarnya sama-sama, kamu beneran ngembaliin cincin dari aku cuma karena masalah sepele kemarin?"

Marsha keluar dari ambang pintu, ia melipat tangannya di dada. Sebenarnya, ia sedikit mulai melupakan hal itu, entah bagaimana, ketika ia pulang dan menatap Orion, Marsha jadi lupa apa yang terjadi di Rumah sakit kemarin, tapi, ketika sekarang diingatkan, entah bagaiamana lagi, rasa sakitnya kembali.

"Aku lho yang dari awal ngide buat Orion dibawa sama kamu. Aku pula yang nerima kamu apa adanya. Emangnya aku selama ini gimana ke kamu? Nyakitin kamu? Itu cuma hal sepele, Sha. Enggak mungkin lah aku ngomong gitu ke temen-temenku."

"Sepele buat kamu yang enggak direndahkan, aku gimana?"

"Sha, itu cuma bercandaan tongkrongan aku aja. Jangan dipikirin, laki-laki emang kayak gitu bercandaannya."

"Enggak tuh. Sepanjang hidupku, aku hidup sama laki-laki. Enggak pernah Mas Oniel bilang yang enggak-enggak soal perempuan, Handa juga enggak pernah. Tongkronganmu emang sampah aja, Mand."

"Sha..." Armand mendekat, menyentuh lengan Marsha tapi sedetik kemudian Marsha menarik tangannya. "Kita udah lama kenal, kamu pun tahu aku sama teman-temanku kayak apa. Dan kamu tahu aku selama ini ke kamu kayak gimana. Tolong dong, dewasa sedikit. Ini lama-lama aku berasa punya hubungan sama anak kecil kalau tingkah kamu kayak gini."

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang