___________________________________________
"Marsha..."
Marsha yakin, ia tidak mengantuk atau mabuk, tapi jika ditanya kondisinya sekarang bagaimana, ia gamang. Ada rasa ringan yang hingap di dada, ada pula rasa resah yang bersinggungan dengan kelegaan. Seperti ia diberi semua impian yang ia punya di depan mata, tapi, bom waktu ada di belakangnya menghitung detik perdetik.
Tidak, Marsha tak menyesal. Ini hanya sebuah rasa bersalah, dan harusnya pelukan darinya membuat ia tenang, lebih tenang meski tidak setenang biasanya.
Azizi mendekat, memeluk tubuh mungil itu tidak terlalu erat, tapi sedikit hangat.
"Handa pulang kapan?" Tanya Azizi.
"Pagi ini harusnya sampai rumah." Kata Marsha.
"Oh... oke. Tadinya pengin semalaman nemenin kamu, tapi, kalau ada Handa... kamu ngerti 'kan. Aku enggak bermaksud ninggalin kamu, aku ngerti perasaan kamu sekarang. Hanya... maaf, tapi, enggak apa-apa 'kan?"
"Apa?" Tanya Marsha mendadak bodoh.
"Um... enggak apa-apa aku tinggalin? Besok aku jemput, aku janji."
"Oh... oke." Marsha mengangguk dengan canggung.
"Maaf ya..."
"Hn..." Lagi-lagi, tak ada yang bisa ia katakan banyak, selain gerakan kepala, mengangguk dan menggeleng.
"Tadi... sakit?"
Marsha menipiskan bibirnya, ia sedikit yakin bahwa sekarang wajahnya memerah panas. Tapi, kemudian mereka tertawa dan kembali saling berpelukan, memberi ketenangan. Marsha yakin, bukan hanya dirinya, Azizi juga merasakan resah yang sama, dilihat dari raut wajahnya.
"Jangan tinggalin aku, ya, Sha?"
Bukankah, pertanyaan itu harusnya ia yang lontarkan?
___________________________________________
Apa mimpimu di usia menginjak 22 tahun?
Mungkin bagi sebagian orang, mimpi adalah tentang mencapai sesuatu. Akan tetapi, bagi Marsha Lenathea, mimpi adalah tentang bagaimana ia menyelamatkan diri dari kegagalan.
Entah kenapa, semua ini menjadi amat rumit, rumit sekali, bahkan ia sekarang mulai berteman dekat dengan kegagalan dan memusuhi keberuntungan. Ia tidak tahu kenapa seperti ini, tidak sama sekali.
Harusnya, malam ini, ketika ia mengetahui bahwa Azizi Bagja ada di depan rumahnya, menjemput dengan taksi karena akan ke Bandara untuk terbang ke Manado—tempat ke sekian pria itu kunjungi di antara perjalanan pekerjaannya yang baru. Marsha mengutarakan ucapannya yang sudah tersedia di ujung lidah. Tapi, entah kenapa, belum juga ia ucapkan hal itu.
"Marsha, apa mimpimu?" Tanya Azizi, ketika dirinya sudah naik ke dalam mobil, dan setengah perjalanan sudah mereka arungi dengan banyak cerita Azizi. Mereka tidak sering bertemu, tapi, begitulah, Azizi selalu menyempatkan diri untuk menemuinya barang hanya beberapa jam dalam seminggu.
"Um... sekarang? Di umur sekarang?"
"Hn..."
"Um... apa ya..." Marsha mengerjapkan matanya. "Aku cuma mau hidup dengan baik."
"Gitu aja?"
"Huum. Gitu aja. Kenapa memangnya?"
"Enggak mau yang lain gitu? Nyobain yang lain? Maksudku, um... kamu pengin punya keahlian, punya uang yang banyak, um... punya seseorang yang istimewa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa bukan Selamat Tinggal
Fiksi PenggemarDalam dekap hangat pelukan itu, diam-diam ia mencuri kesedihanmu, kemudian kalian merencanakan soal masa depan, tak lama masa lalu melambaikan tangan. ... Beberapa orang percaya, bahwa acara reuni sekolah adalah salah satu pintu ajaib mengantarkan k...