26. Ayah

1.6K 221 38
                                    

Mobil yang ditumpangi Azizi baru saja pergi beberapa saat yang lalu, Marsha kembali membenarkan gorden setelah ia singkap setengahnya, untuk memastikan jika pagar rumah sudah ia kunci dengan baik. Ruang tamunya yang tidak terlalu besar ini, sudah temaram, Marsha memang selalu mematikan lampu utama jika Orion sudah tertidur.

Marsha meregangkan otot-ototnya, hari ini kegiatannya cukup padat yaitu membuat kamar untuk Orion. Memang ada satu kamar yang sudah disiapkan Handa beberapa tahun lalu untuk cucunya tercinta, tapi belum sempat Handa buatkan, karena sebelum Orion lahir, Handa sudah sakit-sakitan berat.

Semenjak Marsha membuat keputusan bulat untuk menitipkan Orion kepada kakaknya, Marsha juga melupakan kamar itu.

Kadang, Marsha ingin, tapi entah kenapa ia selalu tak sanggup. Bukan tidak sayang kepada buah hatinya, acap kali Marsha memasuki kamar itu, rasanya ia tak sanggup, apalagi baru saja ia membuka pintu kamar, selalu ada aroma yang khas dari sana—seperti sebuah aroma yang mengingatkan Marsha bahwa Handa masih hidup, menyesakkan rasanya.

Namun, tiga hari yang lalu, Azizi menawarkan diri untuk membuatkan kamar untuk Orion, dengan konsep yang mereka buat berdua. Marsha awalnya ragu, entah untuk apa keraguan yang ia pikirkan, hanya, selalu ada rasa ragu meski Azizi selalu bisa dengan caranya untuk menghapus keraguannya itu.

Kamar Orion belum selesai, belum bisa ditempati.

Marsha membuka knob pintu kamar, menyalakan lampunya dan berdiri sebentar sambil melipatkan tangan di dada. Hasil kerja keras Azizi dua hari yang lalu sudah mulai kelihatan hasilnya, betulan sudah pantas disebut sebagai kamar anak laki-laki.

Kamar Orion bernuansa biru muda yang tenang, terdapat satu ranjang kecil di sana tapi belum terpasang kasurnya, takut Orion ngotot ingin segera ditempati. Ada sebuah meja belajar kecil di pojoknya, menyadarkan Marsha jika Orion sebentar lagi akan sekolah, ada juga Sofa berwarna abu-abu, kata Azizi, itu untuk mereka bertiga bercengkrama. Marsha duduk di sana, mulai melipat satu persatu pakaian Orion yang sudah kering habis dijemur.

"Nda, kamar yang mau Handa rancang untuk Bagja udah hampir selesai..."

Marsha menghirup napas dengan sesak, terkadang ia membayangkan Handa masih bisa ia gapai untuk mendapat peluk dalam dekapnya, kadang ia juga merasa bahwa Handa tak benar-benar pergi, selalu ada di rumah ini.

"Ide-ide Handa waktu itu, diterima baik oleh dia. Nda, sekarang Marsha enggak sendirian lagi, sekarang ada Azizi."

Marsha mengedarkan pandangannya ketika ia tahu bahwa sekarang ia menangis. Ia tidak tahu menghindar dari siapa, mungkin dari dirinya sendiri ini. Ia terlalu sering bersembunyi, ia terlalu sering menolak atas kenyataan bahwa ia juga merasakan itu, merasakan rindu yang sama seperti yang pernah Azizi rasakan. Ia hanya... seperti itu. Ia hanya ingin membentengi dirinya ini, jika suatu saat nanti takdir tak benar-benar berjalan seperti yang ia bayangkan, ia hanya tak perlu mengubur diri untuk rasa sakit yang kedua kali.

"Mamaca nangis?"

Marsha buru-buru menghapus dengan kasar air matanya ketika Orion dengan rambut berantakannya ada di ambang pintu, menyembulkan kepalanya dengan dua mata yang terlihat segar.

"Enggak, Mama enggak nangis." Marsha menggeleng kecil. "Aja kenapa bangun? Digigit nyamuk? Mama ambilin dulu minyak telon ya..."

"Aja nda digigit nyamuk, Mamaca." Orion menggeleng kecil.

"Haus?"

Orion menggeleng. "Mamaca lagi apa? Nda bobo?"

"Mama lagi beresin baju Aja nih, lagi pilihin baju Aja buat ke Bali juga, nanti Mama bobo. Aja mau bobo sekarang? Yuk? Mama temenin lagi."

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang