18. Bersyukur

1.2K 197 90
                                    

___________________________________________



Lelah.

Marsha betulan tidak tahu lagi harus mendefinisikan harinya, hari ini. Ia betulan lelah dan hanya ingin tidur. Hanya itu.

Mobil yang dikendarai Armand akhirnya berhenti juga di kediamannya. Sisa-sisa hujan berupa basahnya beberapa daun bisa Marsha lihat dan yang terpenting, Marsha bisa melihat Azizi—pria itu sedang duduk di kursi depan terasnya dengan mulut penuh asap yang diembuskan. Pasti Azizi bosan menungguinya, padahal Marsha berjanji paling lama hanya dua jam saja.

Marsha melirik pada Armand yang belum melepaskan tangan dari stir, menatap Azizi juga di sana.

"Keren, ya, dia?" Armand bercicit kecil. "Baru bertemu dua kali, udah bikin Aja nyaman. Gimana kalau terus-terusan bertemu? Dia gampang banget nyuri hati Aja. Enggak kayak aku dulu, jatuh bangun untuk dapatin hati anakmu."

"Karena dia ayahnya. Enggak perlu iri." Entah sadar atau tidak dengan ucapannya, perubahan wajah Armand begitu kentara ketika Marsha menjawab. Ya, memang Marsha harus jawab apa? Kenyataannya memang begitu, mau Marsha jungkir balik menyembunyikan Orion dari Ayahnya atau mengatakan tidak, faktanya memang orang itu lah yang bekerja sama dengan Marsha agar Orion bisa hidup dan punya nyawa.

"Memang." Armand mengangguk kecil. "Maksudku, dulu aku enggak pernah main seharian sama dia sehingga untuk ingat aku aja, butuh belasan kali bertemu. Tapi, dia—"

"Karena dia ayahnya, Mand."

"Sha, aku ngerti. Tapi, kenapa kamu percaya sebegitunya sama dia?"

Marsha berusaha untuk tidak berdecak mendengar pertanyaan Armand yang mulai tidak logis ini. Entah karena cemburu atau iri sebesar-besarnya, harusnya Armand mengerti, mana batasan yang Marsha buat untuk pacarnya mendekati sang anak, mana batasan yang Marsha buat untuk ayah biologis untuk sang anak. Itu kan, dua hal yang berbeda. Lagi pula, secara natural mereka akan merasa nyaman satu sama lain, bagaimanapun, darah, daging dan gen mereka sama.

"Karena aku kenal sama Azizi."

"Kalau kenal, kenapa enggak terus terang dari awal?"

"Kalau aku terus terang, aku enggak akan kenal kamu. Case closed." Tidak bijak rasanya memulai pertengkaran disaat cincin dari Armand sudah tersemat di jarinya ini. Dia memang ada urusan sebentar tadi petang, tapi, setelah urusannya selesai, Marsha diajak Armand pergi makan malam dan Armand memberikan cincin emas kepada Marsha sebagai bentuk keseriusannya. Katanya, bukan lamaran, kalau lamaran, Armand senantiasa mengajak sang mama yang masih sakit ke rumah Marsha ini.

"Bagaimana kalau Aja lebih sayang sama Azizi daripada sama aku?"

"Terus terang, aku enggak mau jawab pertanyaan kamu. Tapi, kenapa pertanyaanmu itu selalu dan seolah kamu mau punya hak yang sama kayak dia? Kan kamu tahu, dia ayahnya. Kamu mau aku sabotase hasil DNA dan bilang itu anak kamu atau gimana sih, Mand sebenarnya mau kamu?" Tanya Marsha mulai jengah. "Gini, ya, Mand... kita udah obrolin ini dari awal. Aku mau kamu ajak serius, ayo kita ke jenjang yang lebih serius. Tapi, urusan anakku, itu akan jadi urusan aku dan ayahnya. Kamu aku ajak kok kalau diskusi sama Azizi, tapi, nanti, kalau kamu udah jadi suami aku dan aku enggak akan nyembunyiin apapun dari kamu."

"Jadi, tawaranku buat mengangkat Aja anak, kamu tolak ya?"

"Ya, aku tolak. Maaf."

"Kenapa?" Tanya Armand dengan getir.

"Urusannya bakal panjang. Keluargamu pasti enggak setuju dan Azizi juga enggak akan mau."

"Oh, lagi-lagi Azizi." Armand tertawa sinis.

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang