___________________________________________
Orion tertawa menatap kakinya yang terpasang sandal jepit dinosaurus, sandal yang diberikan Azizi beberapa saat yang lalu, melihat jari-jari mungilnya yang bisa digerakan dengan bebas dan tak perlu dibalut oleh kaus kaki. Orion lebih senang memakai sandal daripada sepatu, apalagi jika sandalnya bisa menyala ketika dipijakan, ia bisa tak berhenti untuk melangkah ke sana kemari bahkan lari-larian hanya agar sandalnya terus menyala.
"Orion suka?" Azizi berlutut mengenggam dua tangan putranya.
"Suka sekali Ayah. Jalri-jalri aku bisa bergelrak begini..."
Azizi melebarkan matanya. "Coba ulang, nak. Jari-jari Orion bisa apa?"
"Jalri-jalri aku bisa bergelrak, Ayah..."
Azizi tertawa kecil, ini rasanya menakjubkan daripada ia menang nominasi awards. "Anak Ayah udah bisa bilang R ya? Enggak cadel lagi..."
"Hi hi hi, iya Ayah..."
"Kapan Orion bisa bilang R, nak? Kok Ayah baru dengar."
"Kemalin."
"Ke-ma-rin. Coba, bilang kemarin."
"Ke-ma-lrin."
"Kerennya anak ayah." Azizi menangkap Orion yang sedang berlari-lari, diangkatnya tubuh gempal Orion tinggi-tinggi dan mereka berdua tertawa bersama.
Itulah kegiatan mereka sore ini. Sore terakhir Azizi Bagja ada di Bandung sebelum besok kembali lagi ke Jakarta dan memulai lagi pekerjaannya. Ia tak mau sedikitpun melewati waktunya yang berharga bersama putranya, sedikitpun.
Ditengah tawa mereka berdua yang begitu menggelora, alat penciumannya baru saja dimasuki sesuatu—suatu aroma yang datangnya dari dapur sana, aroma makanan rumah, aroma khas dari sebuah makanan yang jarang sekali Azizi temukan. Mungkin dalam setahun, ia hanya menemukan dua kali aroma macam ini, itupun bukan di rumahnya sendiri, melainkan rumah neneknya.
"Kamu masak apa?" Azizi dan Orion yang ada di gendongannya, menyembulkan kepalanya ke arah pintu dapur, di mana ada seorang wanita berdiri di sana membelakangi dirinya dan menghadap ke kompor.
Marsha menoleh, kemudian tersenyum tipis. Azizi sangat yakin, dalam keadaan seperti ini saja, Marsha tetap cantik tiada tandingannya. Meski hanya memakai kaus belel tipis rumahan, meski hanya pakai celana training kebesaran, juga sebuah apron yang talinya melingkar di pinggang. Rambutnya yang panjang sepunggung, lebat dan berkilau, dijepitnya ke atas. Tidak ada asesoris apa-apa di bagian-bagian tubuhnya, betul-betul Marsha yang terlihat apa adanya.
Marsha di mata Azizi tak kelihatan seperti manusia, malah seperti bidadari yang sedang magang di dunia. Iya, terlalu berlebihan ya? Ya sudah, biarkan, namanya juga orang jatuh cinta. Senyum terbentang di bibir Azizi, tidak, lebih mirip orang mupeng kelaparan yang benar-benar sedang ingin makan karena aroma Opor Ayam ini... berhasil membuat perutnya menembangkan lagu Bengawan Solo, alias keroncongan.
"Opor Ayam." Jawab Marsha, singkat dan tenang. Barusan, Marsha juga tiba-tiba terdiam, hanya untuk menatap kegemasan Ayah dan Anak yang mengintipnya. Wajah mereka berdua—cukup mirip, sampai Marsha hanya bisa mengatakan bahwa Orion adalah versi ekonomis dari Azizi. Dari bagaimana mereka berdua mengendus aroma Opor Ayam yang baru saja matang dimasaknya, dari bagaimana wajah cengo keduanya ketika menatap Marsha dan juga bagaimana mereka berdua tersenyum lebar mirip anak ingusan yang baru saja jatuh cinta. Ya ampun, benar-benar semirip itu.
Marsha tak mengatakan apa-apa lagi, selain mengambil sendok sayur dan mangkuk besar, kemudian mengambil potongan ayam kampung dan kuahnya ke dalam mangkok itu. Ia menyuruh Azizi minggir ke samping, sewaktu Marsha berjalan menuju meja makan bulat di ruang makan.
![](https://img.wattpad.com/cover/358111639-288-k598567.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampai Jumpa bukan Selamat Tinggal
FanfictionDalam dekap hangat pelukan itu, diam-diam ia mencuri kesedihanmu, kemudian kalian merencanakan soal masa depan, tak lama masa lalu melambaikan tangan. ... Beberapa orang percaya, bahwa acara reuni sekolah adalah salah satu pintu ajaib mengantarkan k...