7. Yang Pergi

1.1K 145 22
                                    

Warning : badword.



___________________________________________

Semuanya sudah baik-baik saja. Mereka mulai meredam ego masing-masing, sudah mulai berbicara dengan tenang dan mendiskusikan semua hal dengan kepala dingin. Marsha seperti biasa meminta maaf kepada Aldo, Aldo tak biasanya mau meminta maaf kepada Marsha. Pemandangan yang cukup sekali jarang ditemukan di antara mereka berdua. Permintaan maaf Aldo lah yang membuat Marsha yakin sekali bahwa memang Aldo orangnya, orang yang akan ia nikahi dua hari lagi.

Nahasnya, malam itu tiba, malam di mana jendelanya terdengar seperti dibuka, malam yang pada akhirnya menghancurkan semua mimpi dan rencana. Malam yang akan selalu Marsha ingat lagi dalam hidupnya.

Tidak perlu melolongkan puisi, juga bermain piano dengan lagu sedih. Sekarang ini, ia seperti ditetesi racun yang entah bagaimana merasuki tubuhnya, menyerap di pori-pori kulitnya dan berhasil membunuhnya secara perlahan.

Aldo pergi, itu adalah faktanya. Aldo pergi dua hari sebelum harusnya pernikahan itu ada dan berlangsung. Aldo pergi untuk mimpinya. Marsha tertawa, untuk mimpinya, Sha. Kamu itu sudah dihempas dalam daftar mimpi Reynaldo Yudaswara dari lama. Iya, itulah dirimu. Tidak seberharga itu untuk Aldo.

Lagi pula, kenapa Marsha selama ini terlalu naif untuk mengatakan bahwa Aldo dan Marsha berbeda. Aldo acap kali dikelilingi oleh perempuan-perempuan senada, dari bagaimana mereka bersolek molek, berucap manja dan perlakuan berani menggerayangi badan Aldo. Sudah tentu, Aldo tidak mungkin tidak tergoda dengan mereka.

Aldo dengan tega pergi untuk mimpinya, meninggalkan Marsha yang kebingungan dengan hidupnya. Selama ini, Marsha tidak pernah keluar dari zona nyamannya sebagai manusia. Semua orang tahu, dia adalah gadis yang berbakat apalagi dalam seni menggambar, pernah satu kali, Marsha ingin mengikuti salah satu perlombaan yang di mana harusnya itu adalah pintu untuk mimpinya, tapi, Aldo melarang Marsha dan mengatakan bahwa lebih baik Marsha melakukan kegiatannya untuk menggambar saja. Suatu hari, ia bahkan mendapatkan beasiswa ke luar negeri, tapi, lagi-lagi Aldo memohon dengan dua mata yang tak rela jika Marsha pergi ke negeri orang dan membuat mereka harus terbentang jarak jauh, sehingga detik itu juga, Marsha memutuskan untuk dia meneruskan pendaftarannya. Atau, baru saja satu bulan yang lalu, menjelang hari pernikahan mereka ini, akhirnya setelah menyebar CV sana-sini, Marsha dilirik salah satu perusahaan, induk dari anak perusahaan di mana Aldo bekerja, dan Marsha juga Aldo tahu bahwa pendapatan di sana sedikit lebih besar daripada tempat Aldo bekerja. Aldo segera menggeleng keras, menyuruh Marsha untuk tidak datang untuk sesi wawancara. Itu melukai harga diri Aldo dan mengatakan Marsha tidak perlu bekerja karena Aldo akan berusaha mencukupi semua yang mereka butuhkan nantinya.

Jadi, sekarang, apa?

Marsha tidak mendapatkan apapun dari hasil ia dibutakan cinta. Bukan hanya pernikahan, hidupnya bahkan hancur sepenuhnya, ia menelan pil pahit dan ia yakin, hanya gagal yang ia temui di masa depan nanti.

"Sha, ini Mas Oniel. Kamu enggak bangun-bangun dari tadi? Udah siang lho. Pamali, mau jadi istri orang masa masih bangun siang gini." Pintu diketuk ringan dari luar. Marsha tak mengacuhkannya, memilih memeluk lututnya yang ia tekuk.

Jangankan tidur lama, ia bahkan terjaga sampai matahari elok mengintip dari jendela. Tapi, rasannya, ruangan ini tetap gelap, tetap pengap.

"Kenapa, Mas?"

"Enggak bangun-bangun dia. Dikunci enggak sih, pintunya?"

Samar-samar, Marsha masih bisa dengan suara-suara dari luar, mungkin itu kakak iparnya.

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang