12. Sepahit Kopi, Semanis Kamu

62 2 0
                                    

Alvine sedang duduk di kursi bar Dopi siang hari. Kafe sedang lumayan sepi saat ini. Mata serta jemari-nya fokus menulis laporan praktikum di laptop yang berisi belasan paragraf dan tabel grafik yang kelihatannya bisa bikin bulu mata auto keriting.

"Sibuk nugas, Vin?"

Suara Donny dari balik meja bar membuat Alvine menoleh ke depan.

"Laporan praktikum, bang Doy," jawab pemuda kulit putih dan berlesung pipi itu, ia berusaha tersenyum meski matanya menunjukkan rasa lelah.

"Tumben datang sendiri, Vin. Mana yang lain? Nyusul?" tanya Donny sembari menaruh gelas kosong di atas meja.

"Masih pada kuliah, bang, jadi kami nggak ngumpul-ngumpul dulu hari ini. Cuman aku memang lagi butuh kopi buat selesaikan laporan ini. Deadline-nya besok!" jelas Alvine mulai pusing.

"Dosennya siapa?"

"Pak Chris."

"Ah, si bapak, toh!" celetuk pemilik Dopi itu. Meski ia tipikal yang banyak bertanya, tapi kedua tangannya masih tetap bisa bekerja menyiapkan segelas kopi.

"Bang Doy tahu yang mana bapaknya?" tanya Alvine mengangkat sebelah alis.

"Tahu, lah... Eh, tapi urang agak kasihan sama beliau, lima tahun mengajar belum diangkat jadi dosen tetap," kata Donny mulai bercerita.

"Hah, kenapa bisa begitu?" tanya Alvine jadi penasaran, kedua tangannya menopang dagu.

"Entahlah, mungkin birokrasi kampus yang sulit, atau kontribusi beliau belum cukup untuk diangkat jadi dosen tetap. Makanya beliau saat ini hanya bisa jadi dosen pembimbing dua Tugas Akhir," jelas Donny seraya menyodorkan segelas cold brew kepada Alvine.

"Tapi beliau bisa jadi pembina lab aku, lho! Kontribusinya sudah sebanyak itu masa masih belum dianggap cukup— Ah, terima kasih, bang!" kata Alvine bersunggut lalu jadi kalem kembali begitu pesanan kopi cold brew-nya telah dibuat.

Donny tersenyum miring seraya mengelap meja, "Maneh tahu lah, standar BIT tuh setinggi apa. Pak Chris yang sudah S2 di luar negeri saja masih susah jadi dosen tetap, apalagi mahasiswanya. Masuk susah, keluar juga susah!"

"Um... Iya juga, sih," gumam Alvine merasa relate dengan kalimat Donny. Ia mulai menyeruput minumannya dengan sedotan. Aroma fruity, pahitnya kopi, dan dinginnya es membuat otaknya yang tadi panas jadi mendingin, matanya juga kembali segar.

"Bagaimana, otaknya sudah dingin?" tanya Donny melihat Alvine yang masih terus menyeruput kopi itu. Teringat permintaan Alvine sebelumnya yang mau pesan kopi tanpa gula yang bisa mendinginkan otak agar bisa fokus mengejar deadline laporan praktikum.

Alvine jadi tertawa pelan. "Persis sesuai ekspektasi!"

"Apa menu ini bisa masuk list pesanan biasa seorang Alvine?" tanya pemuda berdarah Sunda murni itu. Gigi kelincinya menambah kesan manis pada senyum lebarnya, walau detik berikutnya jadi senyum biasa lagi.

"Hmm... aku masih bingung, bang. Sebenarnya ini enak, tapi bukan tipe kopi yang bisa aku konsumsi setiap hari," ucap Alvine ragu, menaruh gelas kopi itu di meja. "Maaf, bang, tapi kayaknya aku memang tipe moody kalau soal minuman."

Donny mengangguk paham, ia tidak permasalahan sama sekali. Memang Alvine selalu memesan menu yang berbeda-beda setiap dirinya ke Dopi. Tergantung mood, kebutuhan, dan isi dompet saat itu. Kadang pesan kopi susu, kadang pesan teh, kadang kopi hitam, kadang juga hanya pesan air putih dan sandwich isi tuna mayo.



Sejauh ini hanya sandwich isi tuna mayo yang jadi pesanan favorit Alvine di Dopi.



Padahal menu itu awalnya hadir hanya untuk mengisi kekosongan menu brunch-nya Dopi.



Doppo SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang