22. Menjadi Rumah

45 2 0
                                    

Di dalam studio lukis pribadi miliknya, Genta duduk lesehan memandangi layar Ipadnya dengan kening mengkerut begitu melihat notifikasi yang masuk. Alvine baru saja mengirim video rekaman penampilan The Insomniac tadi sore. Genta tak tahu siapa yang merekam itu tetapi pemuda itu terpaku menonton aksi panggung kedua temannya itu.

Genta menarik napas dalam. Sebenarnya sejak kemarin ia sudah diajak Alvine untuk datang menonton band Alvine dan Marten, ia ingin datang tapi disisi lain sulit meninggalkan tugas-tugas yang semuanya harus dikumpulkan di minggu UTS.


Alvine
Tuh udh ku kirim ya, jgn nangis lagi :)
Btw titipan salammu udh ku sampaikan juga

Genta
Siapa yg nangis anj
ya makasih

Alvine
Gausah dipikirin klo Juju dah ngambek gtu
Kasih vape jg diem bocahnya

Genta
lagian gw sendiri yg minta ke lu buat jgn bilang ke yg lain dulu
gw udh tau resikonya, bkl diomongin di belakang

Alvine
Gagitu dong
Aku gamau doppo saling ngomongin di belakang


Pandangan Genta berpindah ke dua lukisan besar di hadapannya. Pemuda itu menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan. Saat ini ia hanya ingin fokus menyelesaikan tugas-tugas UAS serta lukisan untuk BAE yang belum selesai karena Tendra sulit dihubungi hari ini. Genta kembali menyerap diri mengerjakan tugas membuat logo dari pak Jaya, sambil ditemani Shiro dan alunan lagu lewat speaker.

Tepat saat Genta ingin melanjutkan tugasnya, sebuah notifikasi kembali muncul di atas layar Ipad, membuat kaget setengah mati. Tangan kanannya yang memegang pen sampai diam membeku begitu mata dibalik lensa bulat itu membaca nama kontak yang tertera.


Rosalina
Genta, tonight I'll go home.


***


Sementara itu, Marten, Lucas, dan Hafizh baru saja sampai di kos 127 tepat saat adzan maghrib berkumandang. Lucas lebih dulu memarkirkan motor di garasi, disusul Hafizh lalu Marten yang parkir secara berurutan. Suasana suram, ketiganya sibuk di atas motor masing-masing. Tak ada yang berbicara, termasuk Marten yang sedang melepas helm. Ia turun dari motor dengan perasaan gusar, sampai tak sengaja, tas gitarnya menyenggol keras kaca spion motor Hafizh.

"Santai, woy. Spion Bibi yang patah nanti!" protes Hafizh sambil memperbaiki posisi spion.

Marten tak membalas. Seakan tak mendengar. Tetap melangkah masuk ke kos. Hafizh jadi menghela napas melihat sikap pemuda itu.

"Bisa nggak kau berpikir positif dulu? Nggak mungkin lah adik tingkatmu bersekongkol dengan bang Tendra, dia sendiri yang bilang kalau kenalnya sebatas media partner, kan?" kata Hafizh terus terang, mengekori Marten masuk kos.

Marten jadi mendecak, berhenti dan menoleh. "Iya, gue sudah nggak bisa berpikir positif kalau soal si psikopat mesum itu. Apalagi waktu gue tau yang dihubungi itu Shafa, makin marah gue!" belanya emosi, "Cuman karena dia bantuin band gue dapat tawaran manggung, bukan berarti gue mau baik sama tuh orang!"

"Iya tau, tapi jangan langsung mikir negatif sama orang-orang yang dekat sama bang Tendra, dong!" balas Hafizh menasihati, "Terus sekarang maumu apa? Mau Labrak?... Woi, dengerin dulu!" lanjutnya seraya menarik bahu Marten ketika pemuda itu membuka pintu.

"Apaan sih, Fizh?! Terserah gue dong mau apain dia! Awas saja, gue kunyah tuh kupluk hitamnya!" protes Marten sambil menunjuk udara, lalu berpaling masuk ruang tamu.

Doppo SquadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang