Hujan turun membasahi kota Bandung secara tiba-tiba di malam hari. Suasana pinggir jalan Braga yang awalnya ramai turis tiba-tiba menjadi sepi. Semua orang berlari ke tepian, berebut untuk berteduh. Ada yang masuk ke kafe-kafe, restoran, minimarket, bar, sampai toko lukisan tua milik pak Ganjar.
Pria tua gemuk itu sepertinya tidak masalah tokonya tiba-tiba mendadak ramai oleh para turis yang hanya berteduh di dalam tokonya. Hal itu membuat beberapa turis jadi tertarik melihat-lihat deretan lukisan yang dijual dan didominasi pemandangan alam itu.
"Harganya lima ratus ribu, bisa nego sedikit jika anda mau." Ujar pak Ganjar menawari salah satu turis. "Ada juga di sana, koleksi warna pastel hasil karya keponakan saya. Harganya mulai dari lima puluh ribu... atau mau dilukis portait?"
Sementara pak Ganjar sibuk melayani pelanggan, di lantai tiga, Tendra dan Genta sedang duduk saling berhadapan. Mengitari meja kayu penuh coretan cat warna-warni. Di atas meja tersebut banyak kertas sketsa dan palet warna berserakan.
"Jadi sebenarnya ide lo apa?" Tanya Genta serius menaruh kedua siku di pinggir meja, "Elo bilang sebelumnya kalau kita bakal kolab di BAE, seharusnya nama kita dalam satu kolom, kenapa jadinya sendiri-sendiri?"
Tendra tidak menjawab, sibuk memandang lekat-lekat salah satu sketsa di tangannya.
"Gue ngga tahu permainan orang dalam apalagi yang lo lakukan. Katanya gue nggak bakal bisa daftar kelas menengah tanpa bareng lo, tapi kok tiba-tiba nama gue bisa muncul berdiri sendiri di kolom daftar seleksi, persis di bawah nama elo! Itu artinya gue harus menyerahkan karya atas nama diri sendiri, bukan atas nama kita berdua. Itu bukan kolab namanya, tapi lo bantu masukin nama gue daftar kelas menengah!"
"Terus kenapa? Bukannya bagus, ya?" Tendra pun membuka suara, menatap Genta.
"Terus apa yang harus gue jawab kalau ada salah satu dosen gue yang nanya, 'kamu bisa daftar kelas menengah minta surat rekomendasi ke siapa?'?"
"Surat rekomendasi kan nggak harus dari dosen jurusan sendiri."
"Iya, tapi diutamakan itu dulu, kan? Nanti bukannya gue dapat nilai A malah dosen-dosen pada ngambek dan musuhi gue semua," kata Genta serius, mulai emosi. "Lo mah enak tinggal ngurus Tugas Akhir, gue masih semester empat!"
"Iya, iya. Nanti gue ganti lagi data lo, deh!" Tendra mendengus, sudah muak dengan ocehan Genta, "Lo mau minta surat rekomendasi lewat siapa? Pak Jaya lagi? Lo ubah saja nama dosen sama NIP di template surat, minta tanda tangan dia, terus kasih ke gue lagi. Sisanya biar gue yang ngurus!"
"Semudah itu?" Genta melebarkan mata, membuat Tendra menyeringai dan tertawa sombong.
"Lo nggak perlu takut, Gen. Nggak seperti fakultas lain di BIT yang birokrasinya masih ketat dan kaku, FSD masih mudah buat urus dokumen asal lo punya orang dalam. Orang-orang di layanan akademik FSD tuh... santai-santai semua," ujar Tendra tanpa beban.
Genta masih menatap Tendra tidak percaya. Meski dirinya sudah tidak asing dengan fenomena orang dalam dan sudah jadi rahasia umum juga, sebenarnya hal itu tidak selalu menjadi negatif di mata Genta asal bukan untuk nepotisme, kecurangan, atau sejenisnya. Tapi kalau begini... bukankah ini namanya curang?
"Mungkin gue bisa kenalin lo teman gua yang kerja jadi staff IT di FSD," tawar Tendra seraya tertawa.
Genta jadi mengingat pesan Lucas, ia harus berhati-hati agar tidak ikut-ikutan bad habits orang ini.
"No, thanks. Gue masih mau usaha sendiri." tolak Genta tegas.
"Jangan terlalu naif, Gen. Dunia sudah terlalu kejam untuk orang-orang yang berhati lembut. Kadang elo tuh harus hidup di bawah pilihan; mau jadi kenyal atau keras?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Doppo Squad
HumorDOPPO diambil dari plesetan nama kedai kopi yang menjadi basecamp Genta, Marten, Lucas, Hafizh dan Alvine, yaitu Dopi alias Doyon Kopi. Nama Dopi sendiri diambil dari nama pemiliknya, yaitu Donny alias Doyon yang juga ialah kakak tingkatnya Doppo Sq...