Bagian 9

14.5K 890 35
                                    

'Gue benci lo. Gara-gara kehadiran lo, semua lupa sama gue.'

Mata itu perlahan terbuka. Rasa pening sempat menghantam kepalanya, namun sakitnya tak berlangsung lama. Jazel menatap kosong ke depan. Bibirnya yang pucat melengkung ke bawah. Ia ingat kejadian semalam di mana ia membuat saudara kembarnya harus kerepotan merawatnya.

Kepala Jazel menoleh ke samping. Sang kembaran masih terlelap damai. Enggan membangunkan Jilan, ia berusaha bangkit dari posisi berbaringnya dengan gerakan sepelan mungkin.

"Shhh ....," Jazel mengusap dadanya yang masih agak nyeri. 

Jazel meraih apa pun yang bisa ia gunakan sebagai tumpuan. Kepalanya masih sangat pening akibat dari organ sekepal tangannya kemarin yang berulah. Pemuda itu ingin ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu karena jam sudah menunjukkan pukul 4.30 pagi. Meski butuh perjuangan, Jazel akhirnya bisa ber-wudhu. Kini ia tengah bersiap untuk melaksanakan salat subuh.

'Kak, lo bener-bener panutan gue.'

Jilan mendudukkan tubuhnya sembari melihat kakaknya yang menggelar karpet beserta sajadah sepelan mungkin. Jilan tahu agar ia tak terbangun.

"Kakak, tungguin aku. Aku mau ikut salat bareng Kakak. Mau wudhu bentar."

Jazel sempat tersentak. Namun akhirnya senyum yang teduh terlukis di bibirnya. Pemuda itu mendudukkan diri di atas karpet sembari menunggu Jilan ber-wudhu. Jazel bahagia karena setelah sekian lama, akhirnya ia bisa salat bersama saudaranya.

Suara pintu kamar mandi terbuka, membuat Jazel bersiap berdiri. Namun hal itu justru membuatnya tersungkur karena pening menghantam kepalanya. Hampir saja Jazel mengumpat sebelum sang adik membuka suara.

"Kakak, biar aku yang jadi imam, Kakak di belakang sambil duduk. Aku nggak mau denger kata penolakan."

Jazel yang sempat akan membantah pun diam. Ada benarnya juga. Jika ia memaksakan diri, pemuda itu takut semakin merepotkan semua orang. Kini sepasang anak kembar itu pun menunaikan kewajiban 5 waktunya. Meski Jilan pada awalnya agak gugup, namun pada akhirnya ia mampu. Wajar jika ia gugup. Jilan memang telah lama lupa ibadah. Dan saat melihat Jazel yang tetap melaksanakan salat bahkan di saat dirinya sakit, hal itu mampu menampar relung hati pemuda beralis tebal itu.

"Kakak, istirahat aja. Biar nanti biar chef di rumah kita yang anter sarapan."

"Jilan, maafin Kakak. Maaf ngerepotin --"

"Kakak, stop ngerasa bersalah atau ngerasa ngerepotin semua orang."

Jilan meraih tubuh kakak kembarnya ke dalam rengkuhan hangat. Tangannya mengusap lembut punggung rapuh itu. Seandainya saja ia bisa meminta, ia ingin menggantikan segala rasa sakit yang dipikul Jazel. Wajar jika kakaknya selalu merasakan perasaan segan, merasa bersalah, bahkan insecure. Pasti keluarga yang merawatnya membuat kakaknya jadi pribadi yang pesimis seperti ini.

"Udah, Kak. Lebih baik Kakak lanjut tidur aja," Jilan melirik jam dinding yang terpajang, "masih jam 5 pagi."

Jazel menggeleng. Biasanya ia tak akan kembali tidur karena harus mengerjakan pekerjaan rumah. Ia merasa akan semakin menjadi beban jika hanya bermalas-malasan. Pemuda itu ingin berdiri, namun Jilan menahannya.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang