𝟕𝟎𝟎-𝟏𝟑𝟎𝟎 𝐰𝐨𝐫𝐝
BRUK!
Jazel jatuh tersungkur saat Akala mendorongnya tanpa perasaan. Mata bocah 13 tahun itu menyalang. Menggambarkan bahwa Akala tengah dikuasai oleh amarah. Bocah itu melirik ke segala arah, memastikan tak ada siapapun yang melihat perbuatannya.
"Dan stop panggil gue dengan sebutan adek. Panggilan itu cuman buat keluarga gue. Dan lo bukan keluarga gue."
Akala berhasil menabur luka di hatinya yang belum sepenuhnya sembuh. Jazel kira ia akan membawa kebahagiaan bagi seluruh keluarganya. Nyatanya hadirnya membuat salah satu anggota keluarganya menganggapny sebagai masalah. Jazel menyayangi Akala sama besarnya dengan rasa sayangnya untuk Jilan. Namun semua pernyataan pahit yang dilontarkan Akala membuat Jazel tersenyum kecut. Bibirnya terlalu kelu hanya untuk membela diri. Otaknya pun masih memproses kejadian yang baru saja ia alami.
"Udah penyakitan, nyusahin, eh sekarang perusak keluarga gue. Gue benci lo, Jazel!"
Akala menendang kasar tubuh Jazel sebelum akhirnya bocah itu melenggang pergi. Meninggalkan si sulung yang kembali harus bergelut dengan rasa sakitnya.
Pemuda itu memukul kasar dadanya. Lagi-lagi organ sekepal tangannya memberontak. Bibirnya yang mulai membiru terbuka saat ia semakin kesulitan menghirup oksigen. Setiap kali ia berusaha menarik napas, dadanya terasa semakin ngilu. Seolah tulangnya patah. Tak ada satu pun yang bisa ia mintai tolong. Lebih tepatnya ia sungkan untuk memanggil siapapun di rumah ini. Dengan langkah tertatih, Jazel berjalan menuju kamarnya. Cukup menyulitkan karena kamarnya ada di lantai dua, dan ia harus menaiki deretan anak tangga.
"Tuan Muda Jazel, biar saya bantu."
Jazel mengangguk pasrah. "Makasih, Bi. Maaf ngerepotin."
Mau tak mau memang ia harus menerima bantuan untuk naik tangga. Perlahan-lahan, seluruh tubuhnya dibombardir oleh rasa sakit. Jantungnya seolah-olah diremas oleh tangan tak kasatmata, begitupun dengan bagian tubuh yang lain yang terlampau ngilu. Belum lagi dengan pasokan oksigen ke paru-parunya yang semakin menipis.
"Ini Tuan Muda. Minum obatnya."
Asisten Rumah Tangga yang membantu Jazel melangkah pun menyodorkan sebutir obat pada pemuda itu. Semua orang di rumah Bumantara memang sudah diwajibkan hapal dengan semua jenis obat yang dikonsumsi si sulung.
"Bibi, makasih."
Jazel memejamkan matanya setelah berhasil berbaring di ranjang. Tak butuh waktu lama bagi Jazel untuk terlelap. Obat yang ia minum memang membuatnya mengantuk.
"Yang sabar ya, Tuan Muda."
Sang Asisten Rumah Tangga menghela napas kasar. Setelah memastikan sang majikan tidur dalam balutan selimut, ia pun melangkah keluar dari kamar untuk kembali melakukan pekerjaannya.
***
Jazel merasa tubuhnya lemas seolah tanpa memiliki tulang. Pemuda 19 tahun itu jatuh terjerembap di lantai. Tak hanya itu saja. Makanan yang sejak tadi ia bawa pun tumpah dan mengenai kulit lengannya.
"Shhh, s-sakit banget."
Di sela menghadapi jantungnya yang memberontak, Jazel pun juga harus menahan rasa sakit di lengannya karena terkena kuah panas yang baru saja ia masak.
"Ya ampun, Jazel bodoh."
Mata Jazel berkedip pelan. Bibirnya terbuka, berusaha meraup oksigen sekaligus membuka suara. Namun untuk tenggorokannya terasa tercekat. Jantungnya seolah teremas lebih kuat saat ia menarik napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Ficțiune adolescențiTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...