Bagian 14

11.3K 757 26
                                    

Dulu sewaktu si kembar lahir, Diana dan Arya menyambut dengan sukacita. Bahkan di saat salah satu dari anak kembar mereka harus memikul penyakit kronis sejak lahir, keduanya tak mempermasalahkan. Mereka menyayangi Jazel dan Jilan dengan adil. Hingga duka itu datang, salah satu anak kembarnya hilang karena ulah ibu kandung Arya. Sepasang suami istri yang kala itu masih terus mencari keberadaan Jazel dituntut oleh sang ibu untuk segera memberikan adik untuk Jilan. Butuh waktu 7 tahun hingga keduanya mau memiliki anak lagi, dan lahirlah Akala.

"Kata siapa Akala bakal seneng, Kak? Dia pasti sedih Kakaknya pergi. Jangan mikir ngaco ya."

Diana menarik lembut tubuh si sulung ke dalam pelukannya. Tanpa memedulikan sang supir yang duduk menyetir di depan, sepasang ibu dan anak itu saling menguatkan lewat pelukan.

"Jazel, Jilan, dan Akala itu satu paket. Kesayangan Mama dan Papa semua. Akala hanya belum terbiasa, Kak. Dia masih remaja tanggung yang emosinya belum stabil."

Sebenarnya Diana juga takut jika si bungsu terus memupuk rasa benci pada Jazel. Putranya semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Jazel. Bahkan nasehatnya pun Akala abaikan.

"Berdoa aja ya, Kak. Allah Maha Membolak-balikkan perasaan manusia."

Mamanya benar. Akala pasti suatu saat akan luluh padanya. Ia hanya perlu memasrahkan segalanya pada Tuhan. Pemuda itu tersenyum dalam pelukan mamanya.

***

"Papa, Jazel itu pembunuh! Lihat, Adek gini hampir mati gara-gara dia."

"Akala Yovindra, jaga ucapan kamu!"

Diana mengusap bahu Arya saat emosi menguasai hati suaminya. Wanita itu membisikkan kata sabar berulang kali hingga pasangan hidupnya itu akhirnya mampu mengontrol amarahnya. Arya mengusap wajahnya kasar.

"Kalau mau nyalahin, salahin Papa. Jangan kakak kamu. Salah Papa yang lupa ngasih tahu semua tentang kamu!"

Arya meletakkan kasar tas yang berisi baju-baju Akala di atas meja makan. Lantas pria paruh baya itu merebahkan dirinya di sofa ruang rawat VVIP tempat di mana Akala opname selama 3 hari ini. Sang putra harus menginap di rumah pesakitan karena alergi yang menyerangnya. Beruntung Akala cepat ditangani, hingga bocah itu cepat membaik. Hari ini pun ia sudah diperbolehkan pulang.

"Harus apalagi biar kamu nerima kakak kamu, Dek?"

Diana membuka suara setelah sejak tadi bungkam. Dalam hati lumayan jengkel dengan si bungsu. Kakinya melangkah pelan ke arah Akala yang sejak tadi menunduk setelah sang kepala keluarga meninggikan suaranya.

"Kak Jazel udah hidup menderita selama 21 tahun. Bisa kamu bayangin? Gimana kalau itu terjadi sama kamu?"

Diana mengambil tempat duduk di samping ranjang Akala. Dapat ia lihat si bungsu tengah menekukkan wajahnya dengan kedua tangan saling meremat satu sama lain. Diana yakin ada pergolakan batin yang dialami Akala.

"Adek lihat ini," Diana menunjukkan sebuah foto di galerinya, "gimana kalau yang di foto ini Adek?"

Diana merasakan hatinya seolah teriris saat ikut melihat kembali foto yang sekarang memenuhi layar. Foto Jazel yang tengah tidur di lantai depan rumah Renata karena terlambat pulang. Hanya sebuah jaket pemberian Bian yang membungkus tubuh kurus sang putra.

Akala diam. Hatinya sedang dilanda dilema. Bocah itu sejujurnya tak benar-benar membenci Jazel. Hanya saja ia merasa belum rela kasih sayang Jazel dan kedua orang tuanya terbagi.

"Pikirin, Dek. Mama dan Papa nggak mau adek jadi orang jahat."

***

Suasana rumah keluarga Bumantara sudah lengang. Semua anggota keluarganya sudah pergi dengan aktivitasnya masing-masing. Sang mama pun juga terpaksa pergi ke butiknya karena pekerjaan kali ini tak bisa ia kerjakan di rumah. Begitupun Akala yang sudah kembali bersekolah setelah dua hari bed rest di rumag. Hanya ada Jazel yang sudah jenuh melakukan aktivitas yang hanya itu-itu saja; melukis, bermain gitar, membuat lagu, menatap langit dari balkon, dan bermain ponsel. Kini pemuda itu duduk bersandar di ruang keluarga sembari memejamkan mata. Tak benar-benar tidur karena nyatanya ia tak mengantuk. Saat Jazel tengah dalam keterdiamannya, suara telepon rumah di dekatnya berbunyi. Jazel mengernyit sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang