Selama 21 tahun Jazel hidup, ia sudah berteman dengan luka. Bahkan jika bisa diumpamakan, luka adalah nama tengahnya. Jazel tak pernah minta dilahirkan jika saat ia hadir ke dunia hanya akan mendapat rasa benci dari ibunya.
Kamu tuh harus tahu diri. Kamu anak haram. Beda level sama Raka.
Jazel mendapat banyak makian dan sumpah serapah dari ibunya. Bahkan sang adik pun ikut berkontribusi menabur luka di hatinya. Sampai detik itu, Jazel mencoba untuk menahan semua semuanya. Nyatanya rasa cintanya pada mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan lara yang memasung hati pemuda itu.
Anak haram kayak kamu ini nggak pantes sekolah. Buang-buang duit saya aja.
Kala itu, Jazel harus merelakan cita-citanya bersekolah sampai minimal SMA. Ia dipaksa putus sekolah saat dirinya baru akan menginjak bangku kelas 9 SMP.
Tinggal di rumah saya tuh nggak gratis. Kamu harus kerja buat kita.
Dulu, Jazel masih punya ayah. Namun ayahnya menutup mata untuk selama-lamanya sejak Jazel berumur 9 tahun. Dan mulai saat itu, Jazel tak punya lagi seseorang yang membelanya saat Renata memarahi dan memukulinya. Tak ada lagi yang membelanya saat Raka berbuat usil padanya.
"Jadi gimana keadaan Jazel, Dok?"
Jazel masih terpejam damai. Seorang dokter baru saja memeriksa keadaannya. Kini pemuda berparas tampan itu sedang berada di rumah sakit. Seseorang yang membelinya tadi sangat panik karena keadaannya yang semakin parah.
"Maaf saya harus mengatakan ini. Kondisi jantung Mas Jazel saat ini cukup mengkhawatirkan," Sang Dokter mengembuskan napas pelan, "dari dugaan saya, Mas Jazel jarang check up, bahkan minum obat."
Tentu saja Jazel jarang memeriksakan kesehatannya. Pemuda itu tak mempunyai banyak uang untuk berobat. Bahkan untuk membeli obat pun, ia harus menabung diam-diam karena seluruh gajinya selalu diambil Renata.
"A-Apa, Dok?"
Dokter Ryan namanya, ia mengangguk. "Iya, Mas. Mas Jazel adalah penderita penyakit jantung bawaan yang sayangnya dari perkiraan saya, dia jarang memeriksakan diri ke dokter. Untuk itu, saya akan meresepkan beberapa obat. Dan tolong untuk melakukan check up sebulan sekali."
Seorang pemuda lainnya bahkan sampai terduduk lemas di samping ranjang Jazel. Begitupun pria yang memutuskan membeli Jazel. Keduanya tahu tentang penyakit pemuda yang kini tengah terpejam damai. Namun kenyataan bahwa Jazel jarang berobat membuat keduanya terpekur.
"Kalau gitu saya pamit dulu. Nanti kalau terjadi sesuatu, bisa tekan nurse call yang ada di atas ranjang pasien."
Sang dokter pun melenggang pergi. Meninggalkan laki-laki beda generasi yang kini berfokus menatap Jazel.
"Pa, aku ngerasa jahat banget. Aku sejak lahir hidup enak, tapi Kak Jazel harus hidup susah kayak gini."
Namanya Jilan, pemuda berparas tampan pemilik alis tebal. Ia mengusap kening Jazel dengan gerakan pelan. Sosok yang dipanggil 'papa' tersenyum getir. Dirinya sendiri pun tengah memikul beban rasa bersalah karena terlambat menemukan Jazel.
"Nggak usah ngerasa bersalah, Nak. Yang terpenting Jazel udah sama kita."
Ia adalah Arya, sosok pria yang kemarin membuat janji dengan Renata agar Jazel bisa ada di sisinya. Arya tak berhenti mengucap syukur karena usahanya selama setahun ini membuahkan hasil, meski harus menggunakan cara yang salah.
"Shhh ...."
Sepasang papa dan anak itu sontak mendekat. Arya mengusap lembut helaian rambut Jazel. Sementara itu Jilan menggenggam tangan Jazel yang terbebas dari jarum infus.
Mata itu secara perlahan terbuka diiringi oleh ringisan ngilu karena pening menghantam kepalanya. Pandangannya masih buram hingga ia belum menyadari eksistensi Arya dan Jilan. Hal yang wajar bagi seorang pasien setelah beberapa waktu tak sadarkan diri.
"Lan, panggil Dokter Ryan."
Sang putra mengangguk semangat. Kedua laki-laki beda usia itu terlalu bahagia melihat Jazel sadar sampai melupakan nurse call yang ada di atas ranjang.
"Nak? Ada yang sakit?"
Arya menatap Jazel dengan lembut meski pemuda itu masih belum menyadari keadaan sekitar. Jazel masih memproses apa yang terjadi pada dirinya. Hingga saat beberapa waktu berlalu, Jazel telah ingat apa yang terjadi, seiring dengan pandangannya yang sudah jernih.
"Sakit banget ya? Kamu sampai nangis gini."
Setetes air mata jatuh membasahi bantal. Dan Jazel merasakan kembali hati yang kembali terkukung oleh kepedihan. Jazel ingat perbuatan ibunya yang tega menjualnya pada pria yang kini ada di hadapannya.
'Ibu, sejahat apa pun Ibu, kenapa Jazel nggak bisa benci Ibu?'
Jazel menatap Arya dengan pandangan takut sekaligus terluka. Bahkan tanpa sadar tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Melihat pergerakan Jazel yang sepertinya takut padanya membuat hati Arya mencelos.
"Nak, nggak--"
"O-Om, j-jangan .... "
Jazel menutup matanya erat, mencoba menghalau rasa sesak karena oksigen seakan enggan untuk bersamanya. Bibirnya terbuka, dengan urat leher yang terlihat jelas. Dada pemuda itu membusung karena sakit yang membobardir tubuh ringkihnya. Melihat keadaan Jazel yang semakin memburuk, membuat Arya panik. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat ke arah pintu sebelum akhirnya Dokter Ryan dan seorang perawat datang di saat yang tepat dengan Jilan yang mengekor di belakang.
Dokter Ryan membimbing papa dan anak itu keluar sementara ia menangani Jazel.
"Lan, Papa lihat sendiri. Jazel takut sama Papa."
Arya meluruhkan tubuhnya. Perasaannya sangat hancur mendapat penolakan dari anak yang selama bertahun-tahun ia cari.
"Pa, Kak Jazel cuman belum tahu kebenarannya. Nanti aku, Papa, dan adek di rumah bakal kasih tahu pelan-pelan."
Sama seperti Arya, nyatanya dalam tenangnya Jilan jauh lebih takut. Pemuda itu takut Jazel menolaknya, bahkan takut padanya. Dan jika sampai semua terjadi, Jilan berjanji pada setiap helaan napasnya. Renata dan Raka harus membayar setiap penderitaan, rasa takut, dan luka yang Jazel alami.
'Silakan nikmati kebahagiaan kalian. Tapi ingat, ada harga dari setiap luka yang Kak Jazel dapetin dari kalian.'
Ⓣⓑⓒ
Menurut reader tersayang, mereka di cerita ini jarak usianya berapa? Pertama kali aku bikin cerita yang nggak ada kebencian dalam keluarga. Masih belajar ☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Novela JuvenilTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...