Jangan ragu buat koreksi kalau aku typo nama, typo kata, atau ada kata asing yang belum aku italic ya. Aku nulis ini nggak langsung dari wattpad soalnya
'Bukannya kita sama? Kenapa nggak coba jadikan gue alasan baru lo buat hidup? Oh iya, kenalin. Nama gue Jazel. Nama lo siapa?'
Arya adalah sosok papa dan suami idaman. Sosoknya yang pekerja keras namun juga tak lupa memberikan kasih sayang tak terbatas pada keluarga membuat orang yang mengenalnya merasa kagum. Begitupun yang ia lakukan sekarang. Sejak pagi, Arya sengaja merenovasi satu kamar di lantai bawah untuk si sulung yang sore nanti akan pulang. Kata dokter, perlu waktu beberapa minggu bagi Jazel untuk bisa berjalan dengan normal. Maka dari itu, Arya memutuskan mengubah satu kamar di lantai bawah dengan dekorasi yang sama persis seperti kamar lama Jazel. Jadi putranya tak perlu kesulitan menuruni tangga."Pak, ini gitarnya ditaruh di mana?"
Seorang ART yang membantunya membereskan kamar sementara Jazel membawa dua gitar. Arya diam sejenak, lantas ia menyuruhnya untuk meletakkannya di samping tempat tidur Jazel agar sang putra bisa langsung meraih gitarnya tanpa perlu turun dari ranjang.
"Makasih ya, Bi. Udah bantuin. Sekarang Bibi boleh ngerjain kerjaan yang lain."
Kegiatan mendekorasi kamar sementara yang dipakai Jazel telah selesai. Pria itu juga menghiasinya dengan pernak-pernik khas pesta. Ada balon di setiap sudut ruangan.
"Apa pun, Nak. Akan Papa lakukan buat kebahagiaan kalian."
Arya duduk di sisi ranjang. Pandangannya mengarah pada foto keluarga yang ada di nakas. Sebuah senyum terlukis di bibirnya.
"Berjuang ya, Nak. Papa akan berusaha nyari donor jantung yang tepat buat kamu."
***
"Tuan Muda, butuh sesuatu?"
"Udah dibilang, Bang. Jangan panggil gue dengan sebutan itu. Panggil nama kayak biasa aja."
Bian nyengir. Pemuda itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sebenarnya ia sendiri agak kaku memanggil temannya ini dengan panggilan tuan muda karena selama setahun mengenal Jazel, ia sudah menganggap putra dari bosnya sebagai adiknya sendiri.
"Iya, Jaz. Abisnya, lo kan anak bos."
Jazel mendengkus kesal. Pemuda itu kembali fokus menatap keluar jendera kamar rawatnya. Ada kabut pekat yang kini membentengi pikirannya. Sebuah pemikiran negatif tengah bersarang pada dirinya.
"Bang, kalau gue mati, mereka bakal sedih nggak ya?"
Alis Bian menukik tajam. Pemuda bersetelan jas itu langsung melangkah ke arah Jazel. Kedua bahu ringkih itu ia pegang.
"Jaz, jangan ngelantur. Lo ngantuk? Tidur dulu sini. Sambil nunggu Nyonya Diana selesaiin administrasi rumah sakit."
Jazel bersikap tak acuh. Pikiran pemuda itu melanglang dengan pandangan kosongnya. Tangannya meraba dada kirinya. Tempat organ sekepal tangan yang selalu memberontak, hampir setiap malam. Kejadian yang ia lihat di lorong rumah sakit tadi pagi membuat pikiran Jazel menjadi semakin rumit.
'Apa Jilan akan tetep bisa melanjutkan hidup kalau gue pergi?'
Jazel memijat kepalanya yang mendadak pening. Rasa takut itu datang bahkan di saat kebahagiaan menjemput. Padahal hari ini ia akan pulang dan terbebas dari kamar beraroma obat ini.
"Kakak kenapa? Aku panggilin dokter dulu."
Jazel meraih tangan Jilan yang ingin memanggil dokter. Entah sejak kapan kembarannya datang, lamunannya membuat Jazel tak menyadari keadaan sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Fiksi RemajaTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...