"Ayah!"
Langkah kecil Jazel sampai ke sebuah lahan sawah. Di tangan kecilnya, ia menenteng satu rantang berisi makanan. Bocah itu berjalan dengan hati-hati melewati beberapa petak sawah menuju sang ayah yang tengah menatapnya.
"Ini makan siang buat Ayah."
Pria 29 tahun yang dipanggil ayah itu bernama Arif. Ia mengusap rambut sang putra dengan lembut, lantas mengajak bocah itu untuk menuju ke gubuk yang tak jauh dari tempatnya bekerja.
"Kita makan bareng ya, Kak."
Jazel mengangguk antusias hingga mengundang kekehan pelan dari Andri. Ia hapal benar sang istri tak akan mau memberi makan Jazel jika tak ada dirinya. Matanya memandang teduh pada Jazel yang dengan lahap memakan nasi dan ayam gorengnya.
"Enak, nggak?"
Jazel menghentikan makannya sejenak. "Enak banget, Yah. Masakan Ibu enak banget."
Hati Arif mencelos. Sejak bayi, Jazel memang tak pernah mendapat kasih sayang dari Renata, istrinya. Wanita yang ia nikahi 10 tahun silam itu selalu menganggap Jazel beban. Bahkan jika ingin menikmati makanan Renata, Arif harus membaginya diam-diam karena jika ketahuan, sang istri akan marah.
Jazel pun kembali menikmati makan siangnya. Membuat sang ayah pun juga ikut makan. Sepasang ayah dan anak itu hidup dalam kesederhanaan. Seharusnya hidup mereka damai dalam kebersamaan, namun karena Renata yang menolak kehadiran Jazel, semua terada hambar.
"Nak, semoga suatu saat, ibu kamu mau sayang kamu ya."
***
Akala duduk di sudut kamarnya. Bocah itu meremat kedua tangannya karena perasaannya sedang sangat kacau. Kedua orang tuanya langsung pergi begitu selesai menyidang sekaligus menasehati dirinya . Matanya sembab karena terus menangis. Tak hanya takut dibenci oleh oleh Jilan karena telah membuat kembarannya masuk rumah sakit, bocah itu juga takut kehilangan Jazel. Akala adalah bocah 13 tahun yang masih memiliki emosi yang stabil. Dan kini ada setitik rasa bersalah bersemayam di hatinya.
"Ya Allah, maafin Akala."
Akala bahkan belum berani menjenguk Jazel. Belum lagi menghadapi kebencian yang mungkin saja akan ia dapatkan dari Jilan. Dengan langkah lunglai, Akala berjalan menuju ke atas ranjangnya. Ia meraih bingkai foto keluarganya yang baru. Tangannya mengusap foto Jazel di sana.
Kenangan beberapa waktu lalu saat ia bersikap kasar berkumpul dalam pikirannya. Membuat bocah itu semakin diselimuti oleh penyesalan.
Seharusnya ia memaklumi kalau papa, mama, dan kakaknya memusatkan perhatiannya pada Jazel, pikir Akala. Apalagi Jilan adalah saudara kembar Jazel.
"Udah penyakitan, nyusahin, eh sekarang perusak keluarga gue. Gue benci lo, Jazel!"
Air mata Akala semakin mengalir membasahi pipinya. Kata-kata kasar itu bahkan baru ia sadari sangat keterlaluan. Dalam diamnya, Akala merutuk segala perangai buruknya pada Jazel. Mungkin jika nanti Jazel akan membencinya, bocah itu akan ikhlas.
***
Aroma khas rumah sakit menyapa indera penciuman Diana. Telinganya pun menangkap suara berbagai alat medis. Langkahnya terlihat pelan menuju ke ranjang sang putra yang masih tenggelam dalam mimpinya. Rasanya sangat berat ketika harus melihat buah hati yang ia kandung hampir sembilan bulan harus terkukung dalam rasa sakit.
"K-Kakak, ini Mama," bisik Diana tepat di telinga Jazel.
Diana duduk di kursi yang ada di samping ranjang Jazel. Waktu jenguknya hanya satu jam di pagi hari dan di sore hari, jadi ia akan memanfaatkan quality time bersama Jazel sebaik mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendekap Lara (END)
Teen FictionTak pernah Jazel bayangkan ia akan dijual oleh ibunya sendiri. Hidupnya memang beban bagi keluarganya. Namun Jazel tak menyangka, perlakuan sang ibu padanya selayaknya sebuah barang. "Anak ini penyakitan dan nggak berguna. Tapi saya tetap akan menj...