Bagian 25

9K 599 33
                                    

I'm not lying, I love Jay more and more, day by day my love for Jay is increasing 😖❤‍🩹

Juan mengembuskan napas pelan. Pemuda itu memilih langsung pergi tanpa memedulikan adik dan papanya yang meneriakkan namanya tadi. Kakinya melangkah dengan ragu ke sebuah rumah mewah di depannya. Ini rumah teman barunya, Jazel. Keduanya sudah bertukar pesan sejak kemarin. Juan merasa bersalah karena kambuhnya Jazel terjadi saat menyelamatkan dirinya dari tindakan bodoh.

"Maaf, Pak. Saya mau jenguk Jazel."

Seorang tukang kebun menatapnya penuh selidik. Sebenarnya ia sudah diperbolehkan masuk ke rumah Jazel oleh satpam yang berjaga di gerbang. Namun ia harus izin juga dengan pekerja yang ada di area rumah Jazel.

"Saya temen Jazel, Pak. Ini kami ngobrol di whatsapp," Juan menunjukkan roomchat-nya bersama Jazel, "sekarang saya boleh masuk?"

Setelah memastikan aman, Juan pun diantar masuk ke dalam. Pertama kali Juan masuk ke rumah Jazel, ia langsung disuguhkan oleh interior mewah. Pemuda itu sedikit terperangah. Ia memang beradal dari keluarga terpandang, namun jika diibaratkan, Jazel jauh di atasnya.

"Kamu mau saya pecat, Bian?"

"M-Maaf, Bos. Saya salah."

Juan menghentikan langkahnya. Telinganya menangkap sebuah keributan yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Saya sengaja kasih tugas kamu jadi bodyguard Jazel biar dia nggak stres di rumah aja."

Begitu nama Bian disebut, jantung Juan berdetak lebih cepat. Pemuda blasteran Indonesia - Australia itu melangkah dengan ragu ke sumber suara.

"Bang, gue kecewa sama lo. Kak Jazel itu sakit. Sumpah gue kecewa sama kalian. Egois."

Amarah Juan memupuk. Memiliki nasib yang sama membuat ia paham perasaan Jazel. Ia mengembuskan napas pelan, sebelum akhirnya mendekat ke arah 4 orang yang kini sedang bersitegang.

"Maaf, semua. Saya temannya Jazel."

Mereka yang tengah dalam ketegangan kompak menoleh ke arah Juan. Dan hal itu membuat Juan sedikit merasa gugup.

"Bukan salah Kak Bian. Salahkan saya karena Jazel sakit karena menyelamatkan saya," Juan melangkah ke arah Bian yang kini menunduk, "dan soal rasa egois, kalian nggak berhak nge-judge orang."

Juan pernah mendapatkan tuduhan egois karena penyakitnya, wajar ia ikut terluka ketika melihat temannya disudutkan. Bahkan oleh keluarganya sendiri. Bian yang mendengar ucapan Juan pun merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ini memang murni kesalahannya karena tak tegas pada Jazel. Seharusnya ia tak mengajak Jazel keluar rumah. Mungkin saja Jazel tak akan kesakitan, begitu pikirnya.

"Maksud lo?"

Jilan menatap Juan dengan tatapan selidik. Sejujurnya hatinya sakit saat ada orang lain yang nyatanya jauh lebih mengerti Jazel dibanding dirinya.

"Jazel nekat lari buat nyelametin gue pas gue mau bunuh diri."

"What?!" Jilan melebarkan matanya kaget.

Ingatan Juan terbawa mundur saat pertama kali bertemu Jazel. Teman barunya ini benar-benar menampar telak kesadarannya. Tuhan ingin Juan berjuang lebih keras lagi, namun bodohnya ia ingin menentang takdir.

"Gue sama kayak Jazel. Orang yang berjuang melawan monster yang ada di tubuh," Juan menatap keempat pasang mata yang ada di dekatnya bergantian, "tapi bahkan pas tahu gue sakit, yang peduli cuman almarhumah mama."

Jilan merasa seakan hatinya tergores. Kata-kata kasar yang ia lontarkan pada sang kembaran kembali menari-nari di otaknya. Kedua mata pemuda itu berkaca-kaca, bahkan udara seolah enggan untuk masuk ke paru-parunya, rasanya sesak.

Mendekap Lara (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang